Selasa, 05 April 2011

Senjaku Di Langit ke Tujuh

“Nisa, tungguin donk!” Uni berteriak memanggilku dengan posisi ruku’. Napasnya tersengal-sengal mengikuti irama jantung yang semakin enerjik.
“Semangat donk Ni, masih banyak yang belum kita lakukan” aku kembali ke belakang menarik tangan Uni untuk melanjutkan perjalanan kami menyusuri bibir pantai.
          Uni adalah sahabat baruku. Nama aslinya Yuni Arsih Rahayu Pamungkas, keturunan Padang Pariaman. Uni itu adalah panggilan kesayanganku untuk dia, penghematan dari kata Yuni dan juga kebetulan dia lebih tua dari ku. Aku mengenal Uni saat kami sama-sama digencet senior sewaktu MOS masuk SMP sekitar enam bulan yang lalu.
          Disini sekarang aku tinggal. Di daerah rumah-rumah beratapkan seperti tanduk kerbau mendominasi setiap bangunan. Di Sumatra Barat, arah tenggara Ngarai Sianok, lembah yang indah itu tiga kilo meter dari rumahhku.
           Aku belum lama pindah kemari. Bukan karena ayahku dimutasi dari tempat kerjanya atau aku ingin digoyang gempa berskala-skala richter setiap harinya. Tapi semata karena kedua orang tuaku masih sangat sayang padaku. Alasan yang nanti akan engkau ketahui di akhir cerita, teman.
Sudah empat hari ini aku dan Uni bermain bersama. Melupakan pelajaran di sekolah saat kami keluar dari kelas dan membuang segala pikiran yang membebani. Hanya semata untuk bersenang-senang sampai kapan aku tidak tahu, dan aku yang memintanya.
      Hari ini kami mengunjungi pantai air manis. Tempat yang melegenda bersama legendanya Malin Kundang si anak durhaka. Dulu sewaktu SD, aku senang sekali mendengarkan cerita semacam itu sebagai pengantar tidur agar aku bisa terlelap di pangkuan ibu setiap malamnya. Aku tidak pernah bisa tidur dengan tenang, butuh waktu yang panjang agar aku bisa benar-benar terlelap. Cerita-cerita hero dan heroin, serta biografi Louis Brailer si tuna netra dan beragam cerita penggugah semangat lainnya rutin ibu bacakan setiap aku menjelang tidur. Aku paling benci cerita sad ending. Bagiku cerita yang begitu adalah orang yang tak mengerti arti perjuangan. Beliau tidak pernah lelah, tidak pernah mengeluh mengurusi anaknya ini. Karena sekali saja beliau lalai maka aku akan hilang.
        Tidak kusangka aku bisa melihat bukti sejarah cerita masa lalu yang menjadi bunga tidurku, hari ini dengan mata kepalaku sendiri. Berdiri dengan kakiku yang merapuh terbenam di pasir putih pantai yang terus didebur ombak samudera Hindia. Walaupun sudah enam bulan yang lalu aku berdomisili di kota rendang ini, baru kali ini aku bisa mengunjungi berbagai objek wisata di provinsi yang mempunyai big been versi Indonesia, jam gadang.
       Saat itu libur semester ganjil di tahun pertamaku menyandang putih biru. Seperti kataku tadi, aku dan Uni ingin bersenang-senang. Kami mengagendakan untuk berkeliling kota padang. Karena umurku baru menginjak sebelas tahun dan Uni dua belas tahun, maka kami ditemani oleh kakaknya Uni yang biasa kami panggil Uda Aang.
       Rute perjalanan kami dimulai dari kabupaten Agam, Bukit Tinggi, tempat kediaman kami. Lalu ke Padang Panjang dan dilanjutkan ke Pariaman, kampung halaman Uni. Pariaman berada di pesisir utara sumatera barat. Kami mampir sebentar ke rumahnya ama Uni, nenek dalam bahasa Indonesia. Disana aku benar-benar merasa berada di Padang. Kental sekali, etnosentrisme terasa hingga ke ujung kuku meskipun aku tidak didiskriminasi oleh sentiment primordial mereka.
        Aku yang tidak mengerti saat mereka bercakap hanya diam, anggap saja menonton film bisu tekadku dari awal. Aku tidak mau ambil pusing karena kau hanya ingin bersenang-senang selagi masih dalam perjalanan singkatku ini.
       Selesai dari Pariaman kami meluncur ke ibukota provinsi, Padang. Dan disini aku berada. Menakjubkan hamparan pasir putih kecolaktan menyambut kedatangan kami. Ombak laut pun ikut serta membelai lembut kaki yang menapaki setiap centimeter lengkung pantai air manis. Uni sedang mengatur napasnya ketika aku merentangkan tangan memasrahkan diriku pada terpaan angin laut yang membawa terbang sejenak segala hal yang aku rasakan selama ini. Ayah, ibu, aku baik disini, sangat baik bahkan.
       Pandanganku mengabur. Kubiarkan air mata itu mengalir di pipiku. Aku sadar betapa Tuhan sangat menyayangiku. Aku yang kecil begini bisa merasakan hampir seluruh tempat di Indonesia, bahkan ke Singapura pun aku nyaris sudah bosan. Mungkin kau tak percaya teman, tapi begitulah adanya.
*
Maghrib menjelang, mengikis indahnya sisik-sisik emas sayap sang mentari senja menghantarkannya ke peraduan saat kami memasuki sebuah mushola kecil di terminal kota Solok untuk sholat magrib. Dalam sujudku aku memohon kepada Allah agar perjalananku yang singkat ini dapat diperpanjang sedikit saja. Agak memaksa memang. Karena banyak hal yang ingin kulakukan.
Kami transit sebentar di objek wisata danau Singkarak. Letih perjalanan dari Pariaman ke Padang kota membuatku nyaris tak merasakan setiap denyut jatung yang memompa kehidupanku. Kami bermalam di sebuah penginapan keluarga tak jauh dari sana. Malam terasa begitu dingin mecengkram tubuh ringkihku dalam balutan gelap di puncaknya musim penghujan bulan desember.
Aku merasa sangat senang bisa berlibur bersama Uni dan uda Aang. Takkan kulupakan semuanya. Di tengah usaha kerasku untuk memejamkan mata, satu ide singgap di otakku yang sudah lambat fungsi kerjanya. Aku ingin perjalanan ini dibagi menjadi dua rute, aku melewati langsung Balimbing dan kembali ke Bukit Tinggi, sedangkan Uni harus mengambil rute memutar ke Sawah Luntoh lalu ke Batu Sangkar dan kembali ke Bukit Tinggi. Dengan begini kami bisa berbagi pengalaman, karena kalau tempat-tempat itu mau di kunjungi satu per satu akan membutuhkan waktu yang banyak, sedangkan liburan kami tak lebih dari satu minggu lagi.
Malam itu aku tak bisa tidur kembali. Malam itu juga aku berembuk dengan Uni dan uda. Awalnya mereka menolak, tapi dengan alasan logisku akhirnya mereka menerima. Tak menunggu waktu lama, aku mengirimkan sms kepada ayah untuk menjemputku esok hari. Malam semakin dingin. Angin dari danau berhembus kencang menerobos masuk melalui celah-celah kecil ventilasi. Sesak. Aku butuh ibu.
*
Danau Singkarak selamat tinggal. Selamat tinggal juga Uni dan uda Aang. Semoga perjalanan kalian meyenangkan. Terima kasih atas kesediaannya menuruti keinginan bocah layu ini.
Pagi-pagi buta ayah datang bersama ibu menjemputku. Aku tidak tahu berapa kecepatan yang ayah gunakan sehingga bisa datang secepat itu. Sekarang pun mobil melaju cepat. Aku terkulai lemas terbaring di atas pangkuan ibu. Teman, mungkin engkau akan berpikir aku ini manja. Tapi beginilah aku, aku tak berdaya.
*
Dua hari sudah aku berpisah dengan Uni. Namun, kami tetap berhubungan melalui telepon, mengabarkan tempat apa saja yang kami kunjungi. Aku tak bisa banyak bercerita karena rute yang aku pilih memang hanya lurus saja. Biarpun begitu Uni tetap saja memberiku berita kemana-mana saja dia hari itu.
Aku berinisiatif untuk mengadakan taruhan. Siapa yang paling kuat untuk tidak bercerita tentang perjalanan masing-masing sampai masa liburan habis dia adalah orang terkuat dan hebat. Dan lagi-lagi Uni setuju. Dan jika sudah sampai di Bukit Tinggi, aku mengajak Uni pergi ke Ngarai Sianok. Dan dia harus datang padaku dengan membawa tawa bahagia bukan tangis kesedihan karena berpisah denganku. Itulah oleh-oleh terakhir yang aku inginkan dari sahabatku itu.
*
Aku telah lama menunggu Uni di Ngarai ini, berhari-hari, sendirian, tapi Uni belum juga datang. Lupakah dia padaku? Atau aku saja yang terlalu cepat datang sebelum waktunya. Aku tidak tahu. Semuanya begitu cepat. Tubuhku mendingin bersama sejuknya udara lembah.
Hari yang kutunggupun tiba. Seorang gadis kecil berambut panjang berlari ke arahku. Tapi dia tidak menepati janjinya untuk membawakan ku tawa bahagia. Dia datang dengan berderai air mata. Kenapa engkau masih menangis teman? Bukankah engkau sudah berjanji padaku? Bukankah kita telah lewati waktu-waktu terbaik dalam hidupku.
Dia datang menghambur padaku memeluk diriku yang keras dan dingin. Diguncang-guncangnya walaupun aku tetap bergeming. Aku tak bisa merasakan apa-apa saat dia meraung-raung di atas tanah merah yang menutupi diriku. Memeluk pusaraku yang masih hangat karena baru dua hari yang lalu ayah menyuruh orang menggalinya untukku. Tangisnya menjadi saat dia membaca sebuah catatan yang aku tulis sewaktu kami berbisah.
Teruntuk, sahabatku Uni, Yuni Arsih R.P
Hug and kiss
Jangan menangis teman,ini hanyalah permainan dunia. Kita semua pasti akan mengalaminya. Hanya saja aku lebih beruntung dari pada kamu. Aku lebih dulu dipanggil Allah untuk mencicipi indahnya surga. Aku menunggumu disini. Tapi kau jangan cepat datang, bersabarlah.
Aku tau kau pasti marah kenapa aku tidak menceritakan hal ini kepadamu. Tapi aku tak mau orang-orang yang mengenalku menjadi orang yang sedih dan prihatin semua. Aku tak mau kau seperti temanku yang di Ceribon, Malang, Tarakan, Singapura dan lain lagi.
Cukup mereka, aku tak mau kau bersedih juga atas keadaan bocah ini.
Kau pasti sudah mendengar yang sebenarnya dari orang tuaku.
Aku divonis kanker hati tiga tahun yang lalu.
Awalnya aku terserang Liver, penyakit mematikan turunan dari kakekku.
Penyakit itu sangat betah berdiam di dalam tubuh ringkih ini. Berbagai cara kami tempuh, tapi takdir berkata lain.
Aku harus mengaku kalah.
Enam bulan yang lalu, awal aku pindah ke Padang. Itu adalah inisiatif dokter yang menanganiku. Dia sudah lepas tangan. Dia menganjurkanku untuk berobat tradisional pada seorang tabib di Bukit Tinggi.
Dengan harapan yang tinggal secercah kami berangkat kesana. Sebenarnya aku sudah pesimis, apalagi diagnosis terakhir dokter, mengatakan bahwa umurku tak akan lebih dari setengah tahun. Aku tak percaya.
Tapi teman, instingku memang benar. Aku memang harus mengaku kalah.
Setibanya kami di Padang, yang kami dapati hanya pusara empunya sang tabib yang telah wafat seminggu yang lalu.
Aku lelah.
Aku meminta pada orang tuaku agar waktu yang tersisa dalam hidupku bisa aku gunakan untuk bersenang-senang. Mereka setuju. Jadi, liburanlah kita berdua.
Terima kasih sobat untuk waktu terbaik yang engkau berikan.
Kau bisa mengingatku kala senja datang. Karena saat itu Allah menghadirkanku kebumi ini dan memanggilku kembali.
Jangan bersedih, kau telah mampu melewati harimu tanpa aku. Kau memenangkan taruhan itu.
Aku akan berada bersamamu ketika senja menyapa, di tempat berbeda di langit ke tujuh.
Keep In Smile
Alifah Annisanur’aini