Sabtu, 11 Februari 2012

Sehelai Kain Cinta-Mu


“Zah, nanti siang jadikan?” Ainy bertanya kepada Zahra yang tengah khusyuk membaca buka 99 Cahaya di Langit Eropa di kursi sebelahnya ini saat mereka sedang jam kosong. Namun gadis itu tetap tenggelam dalam buku bacaannya tanpa terusik.
                “Hei, Zahratul Marwah! Gimana?” ulang Ainy lagi.
Zahra mengalihkan perhatiannya dari buku karangan Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra itu, “Iya dong. Kita kan udah janji sama Kang Abi,” jawab Zahra sambil tersenyum manis.
                “Ah, kamu pasti mau ketemu Kang Abi. Iya kan?” goda Ainy.
                “Enggaklah. Karena Allah,” jawab Zahra jujur. “Tapi, boleh juga sih.” Dia cepat menambahkan lalu tertawa kecil, begitu pula Ainy.
*
Zahra duduk sendirian di halte kedua setelah dari kostnya. Dia sedang menunggu Ainy yang masih dalam perjalanan.  Rencananya mereka mau ikut majelis taqlim lagi yang rutin diadakan setiap Rabu di Masjid Agung Palembang, hari ini. Sudah hampir sebulanan ini mereka aktif dalam kegiatan itu. Dan sejak bulan ramadhan ini, kegiatan itu bertambah intensif.
                Sebenarnya, Zahra bukanlah gadis yang fanatik terhadap hal yang berbau keagamaan seperti ini. Awalnya Ainy –sahabatnya- yang memang anak seorang ulama itu yang mengajaknya pertama kali untuk ikut sebuah pengajian remaja. Dan semenjak saat itu dia rajin ikut acara senada, apalagi ketua pengurus kelompok yang mereka ikuti ternyata cakep. Hehehe
                Zahra melihat seorang gadis cantik dalam balutan biru lazuardi turun dari bis di halte tempatnya menunngu ini. Ainy memang gadis yang alim dan selalu menggunakan jilbab sebagai penutup auratnya dan sebentuk ketaatan kepada Sang Pemilik Hidup. Begitu juga Zahra, walaupun awalnya dia mengenakan jilbab hanya sekedar busana untuk acara tertentu saja, sekarang dia telah memakai jilbab itu sebagai satu pakaian wajib dan kodratnya sebagai perempuan.
                Dia memutuskan untuk memakai jilbab sekitar sebulan yang lalu, saat pertama kali mereka mengikuti pengajian itu. “Ai, aku mau pakai jilbab,” tuturnya pada Ainy saat itu.
                “Alhamdulillah,” ucap syukur Ainy. “Tapi niat kamu bukan karena Kang Abi kan?” dia bertanya tanpa maksud menyinggung. Zahra sempat mengatakan kekagumannya kepada cowok kuliahan semester tiga itu saat pertama kali dirinya mengajak Zahra bergabung dalam kelompak pengajiannya. Dia juga sempat mengatakan kalau Kang Abi itu suka perempuan yang menutup aurat dan taat beragama. Ainy hanya takut saja, kalau-kalau niat Zahra memakai jilbab seutuhnya bukan ikhlas karena Allah, tapi karena manusia. Apalagi mengingat, Zahra adalah gadis yang terbilang “bebas” dalam artian posifit, dia bergaul dengan siapa saja dan agak tomboy.
                “Enggak kok, Ai,” balas Zahra jujur tanpa rasa tersinggung. “Aku baru sadar sekarang. Apalagi setelah mendengar ceramah ustadz minggu kemaren tentang Kemulian Seorang Wanita, aku malu kalau nggak menutup nilaiku.” Jawabnya kalem. Sejak saat itu hingga sekarang, Zahra konsisten dengan ucapannya itu. Dia perlahan mulai membenahi hidupnya agar sesuai jalan syariat Islam.
                Ainy menghampiri Zahra yang sedang duduk di bangku besi halte TransMusi, sesungging senyum terbentuk di bibir gadis itu. “Maaf ya lama,” katanya begitu ikut duduk di samping Zahra.
                “Nggak pa-pa,” balasnya, “aku baru nunggu selama tiga jam.” Tambahnya lalu tetawa kecil. Ainy pun ikut tertawa. Zahra memanglah gadis periang yang suka bercanda. Tidak lama kemudian bis yang mereka tunggu segera datang.
                Tidak butuh waktu lama untuk sampai ke halte berikutnya. Hanya dibutuhkan dua puluh menit perjalanan, dan untungnya jalanan kota Palembang saat siang di bulan puasa seperti ini tidak sepadat hari-hari biasa.
                Tidak perlu menunggu lama. Setelah sang sopir menepikan bis berbadan besar itu di pinggir halte, keduanya segera turun. Mungkin karena terlalu bersemangat atau tidak berkonsentrasi karena baru saja membalas teguran abang-abang yang bertugas membagikan karcis bis, Zahra tidak menyadari ada seseorang yang juga terburu-buru hendak masuk ke dalam bis. Dan nyaris saja mereka bertabrakan.
                “Maaf,” pintanya kepada seseorang yang hampir ditabraknya. Tapi orang tersebut hanya melongo, menatapnya tanpa kata. Dia pun ikut bingung melihat tampang bingung di depannya itu. Barulah ketika Ainy menepuk pundaknya dari belakang kebingungan itu terpecah.
                “Permisi,” ucapnya pelan. Entah refleks atau apa, orang tersebut mundur satu langkah memberikan jalan bagi keduanya untuk lewat.
                “Kamu kenal, Zah?” Ainy bertanya setelah mereka agak jauh meninggalkan seseorang cowok yang masih berseragam SMA dan agak berantak itu, berantakan atau memang sengaja di-style begitu? Entahlah.
                “Enggak!” sergahnya cepat. “Aneh, ya!?”
Lalu mereka secara berbarengan menoleh ke belakang, siapa tahu objek pembicaraan mereka ada di situ. Dan, benar saja. Kemudian, nyaris bersamaan lagi, mereka tertawa, karena cowok itu ditinggal bis yang tadinya mau dia naiki dan itu cowok masih melongo di tempat.
                Tanpa kedua gadis itu ketahui, Akbar, cowok yang masih mematung di halte itu dia dalam pesona. “Anjrit! Cantik banget tu cewek!.” Desisnya sambil tersenyum kecil mengingat senyum Zahra, gadis yang hampir ditabraknya tadi.
*
Akbar mengikuti kemana saja langkah kedua gadis itu dan terhenti ketika keduanya memasuki halaman sebuah Masjid. Ragu-ragu dalam hatinya untuk ikut masuk kesana atau tidak. Dosa yang dibuatnya suda terlalu banyak bertumpuk selama ini. Dia takut Allah tidak akan menerimanya kalau dia bertamu kesini. Apalagi di hari ketiga puasa ini, tiga hari juga dia sudah bolong puasanya.
                Namun, entah dorongan dari mana, kakinya melangkah tanpa kendali ikut masuk ke areal Masjid. Tapi hanya sampai di situ saja. Keberaniannya tidak dapat menembus sucinya rumah Allah. Dari balik pintu kaca besar Masjid Agung itu, dia duduk mengamati seseorang yang menuntun alam bawah sadarnya ke tempat ini.
Lesung di pipi kirinya masih bisa terlihat meskipun dia berada nun  jauh di dalam sana dan tenggelan di antara puluhan kepala berkerudung lainnya. Banyak yang lebih cantik di sana, tapi pandangannya tetap tertuju pada gadis dalam balutan cokelat tanah itu.
Tiga jam setengah. Acara di dalam Masjid itu hampir selesai.
“Mulai hari ini, pengajian kita akan diadakan setiap hari. Dan kita usahakan sesering mungkin mengadakan buka bersama juga kegiatan sosial di jalan-jalan raya ataupu panti asuhan,” terdengar suara dari dalam Masjid yang disampaikan oleh seorang pembicara muda.
“Kalau ada teman kalian yang mau bergabung di sini, silahkan diajak. Saya akhiri, wabilahitaufik walhidayah, wasalamua’alaikum warohmatullahi wabarokatuh.” Seiring berakhirnya kata-kata penutup itu, berakhir pula kegiatan di dalam Masjid.
Akbar segera cepat-cepat pergi. Tapi kurang cepat untuk kondisinya seperti ini.
“Lho kenap disini? Kok nggak ikut masuk?” tegur pembicara yang tadi menutup acara pengajian itu, Kang Abi.
Akbar tersenyum malu, lalu segera bangkit dari posisi duduk jongkoknya selama tiga jam lebih tadi setelah melihat sesosok perempuan muncul di balik laki-laki itu.
                “Ada apa, Kang?” Zahra bertanya kepada Abi yang berhenti tiba-tiba di pintu masjid.
                “Ini lho,” Abi menunjuk anak laki-laki yang terlihat sangat canggung di hadapan mereka. Akbar sendiri merasa seperti ketangkap basah pas nyolong ayam karena dikerubutin oleh orang banyak seperti ini.
                “Nggak pa-pa, Bang,” elak Akbar, “saya masuk dulu.” pamitnya kepada Abi juga anggota pengajian yang lainnya. Lalu tersenyum malu kepada Zahra. Walau agak ragu Zahra membalas senyum itu.
                Selepas rombongan itu pergi, Akbar keluar dari tempat persembunyiannya di balik pilar besar penyangga atap masjid. Dengan canggung dia memindai seisi bangunan besar ini. Semua orang sibuk dalam kekhusyukan masing-masing. Tenggelam dalam kekhidmatan peribadatan kepada yang Maha Esa. Dia merasa salah tempat jika berada di sini. Dia sama sekali tidak bisa melakukan apa-apa. Padahal dia ini kan orang islam!?
*
                Zahra memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas setelah Sweetheart, satu lagu dari Tiger Baby bersenandung. Yang mengindikasikan ada pesan masuk di ponselnya itu. Ainy baru saja mengabarkan kalau dibakalan telat hari ini, jadi dia menyuruh Zahra pergi duluan tanpa menunggu dirinya.
                Setelah menemukan bangku yang enak di nomor dua dari belakang, dia menjatuhkan diri di sana. Mungkin karena sekarang sedang bulan puasa, jadi lagu-lagu yang diputar di bis-bis kota sekarang kebanyakan lagu religi, bukannya remix yang memekakkan telinga seperti biasanya.
                Gadis itu sedang bersenandung pelan menikuti irama lembut lagunya Maher Zain yang In Sha Allah itu ketika tanpa ia sadari seseorang menghempaskan diri di sampingnya. Terkejut dengan gerakan tiba-tiba itu, dia menoleh sedikit. Lalu keningnya berkerut melihat sebentuk senyum di wajah sampingnya itu. Rasanya kayak pernah ngeliat nih orang deh!?
                Setelah membalas senyum ramah itu, dia kembali membuang pandang ke luar jendela bis lagi. Namun detik kemudian dia harus kembali menoleh ke samping lagi…
                “Mau ke Masjid lagi, ya?” tegur cowok itu.
Keningnya berkerut lagi dengan mata kanan menyipit heran. “Kok tau?”
Cowok itu tersenyum lagi, “Kemaren aku liat kamu ikut pengajian di Masjid itu,” jawabnya.
Oalahh… Zahra ingat siapa orang ini. Dia kan cowok yang kemarin hampir ditabraknya, terus ketinggalan bis, abis itu ngejogrok entah sejak kapan di depan Masjid.
                “Iya. Kamu yang kemaren…,”
                “Iya.” Potong cowok itu dengan cepat. Lalu kembali tersenyum malu. Zahra tidak sadar kalu sepulangnya dari Masjid kemarin, Akbar mengikutinya sampai ke kostannya.
                “Kamu mau kemana?” Zahra bertanya basa-basi saja.
                “Ng… ke Masjid juga,” jawab cowok itu dengan ragu.
                “Mau nongkrong di depan Masjid lagi?” ujar Zahra jahil. Cowok itu tertawa. Zahra juga. “Becanda kok.” Ralatnya cepat.
                Lalu keduanya ngobrol banyak setelah berkenalan sebelumnya. Akbar ini juga masih dua SMA seperti dirinya, hanya saja dia anak SMK. Kebetulan cowok itu mau ke Masjid juga, Zahra langsung saja menawarinya untuk bergabung dengan kelompok pengajian mereka. Awalnya Akbar ragu, namun akhirnya dia terima juga.
                Sesampainya di sana, Zahra segera mencari Kang Abi, ketua perkumpulan mereka. Setelah menemukan cowok itu, dia memperkenalkannya dengan Akbar dan menyampaikan niatan Akbar untuk ikut bergabung dengan kelompok mereka. Zahra pamit meninggalkan kedua cowok itu menuju saf-nya para perempuan di bagian belakang.
*
Sekarang sudah jam lima sore, tapi situasi di Masjid Agung bertambah ramai apalagi ditambah dengan hadirnya puluhan anak-anak dari panti asuhan. Zahra juga Ainy dan cewek-cewek yang lain sedang sibuk mengurusi catering makanan untuk mereka berbuka bersama nanti ketika seseorang mengagetkannya dari belakang.
                “Jadi kan ikut bubar-nya?” dia bertanya setelah melihat tampang bingung Akbar yang baru saja menegurnya. Tiba-tiba Akbar meraih pergelangan tangannya lalu membawanya menjauh dari kerumunan orang banyak. mengajaknya duduk di taman depan Masjid.
                “Aku pulang aja, Zah. Aku malu.” Ucap Akbar pelan menjawab wajah bingung Zahra. Gadis itu tidak mengerti arti raut wajah Akbar.
                “Lho, kenapa? Nggak usah malu,” kata Zahra meyakinkan. “Bener deh!” dia salah sangka mengartikan “malu” yang dimaksud Akbar.
                “Aku malu karena aku nggak puasa, Zah.” Tukasnya jujur.
Zahra tergelak membelalakkan kedua matanya tidak percaya. Akbar nggak puasa? “Maksud kamu?”  tanyanya bingung meskipun dia tahu apa yang dimaksud dengan tidak puasa  di sini.
                Penuturan jujur itu keluar. “Aku jarang banget puasa, hampir nggak pernah malah. Sholat pun mungkin cuma pas lebarang doang. Jum’atan lewat terus. Aku nggak pernah ngaji.” Ujaranya pelan. Dia juga menceritakan latar belakang kehidupan keluarganya yang jauh dari kata akur apalagi harmonis. Ibunya sudah almarhumah dan ayahnya jarang di rumah. Kerja di luar terus. Paling mereka ketemu cuma pagi hari. Saat ayahnya mau berangkat kerja dan dia mau pergi sekolah. Jadi tidak ada yang mengawasi apalagi membimbingnya. Zahra membelalak makin lebar lagi.
“Kayaknya aku nggak pantes deh berada di antara kalian.” Tambah Akbar menyesal. “Lagian niat aku di sini bukan seutuhnya karena Allah.”
Zahra miris. Merasa beruntung meskipun dia anak kostan yang jauh dari orang tua tapi bisa menjadi anak baik-baik. “Kamu beruntung,” ucapnya menanggapi Akbar yang sudah pasrah akan dibenci itu. Cowok itu bingung. Zahara merasakan kelam yang dialami Akbar ketika bercerita.
                “Maksud kamu?” gantian Akbar yang bingung.
                “Ya kamu beruntung masih bisa ditunjukin jalan yang bener sebelum terlambat,” jelasnya. “Coba kalo kamu keburu, tarolah meninggal gitu, sebelum kamu sempat bertobat.” Tambahnya. “Gimana coba?”
Akbar mulai mengerti. Zahra melanjutkan, “Jadi untuk apa kamu malu? Ini awal dari perubahan. Jarang ada kesempatan kedua lho, Bar.” Dia bingung kenapa Akbar segini gampangnya menceritakan semuanya kepada dirinya. Padahalkan mereka belum kenal. Dan keheranan itu terwujud dalam tanya.
                “Kamu kok segini gampangnya cerita semuanya ke aku?”
“Karena aku percaya kamu,” jawab Akbar menanggapi keheranan Zahra.
                Acara buka bersama itu berlangsung meriah. Apalagi di antara orang-orang yang berbahagia itu ada orang yang baru saja menemukan jalan terangnya serta perantara penunjuk jalan itu.
*
Zahra dan Ainy melihat seseorang yang mereka kenal baru-baru ini di dekat halte depan Masjid itu. Akbar tidak sendirian, ada seseorang cewek, cantik di dekatnya. Tapi cewek yang pakaiannya terlihat kontras dengan akbar yang berbaju koko dan peci itu, tampaknya sedang bertengkar. Bahkan saat hendak turun dari bis, mereka sempat melihat cewek itu menampar wajah Akbar lalu kemudian pergi meninggalkan Akbar yang hanya diam saja.
                Karena jam pengajian sudah hampir mulai, tidak ada waktu lagi untuk Zahra ataupun Ainy bertanya. Mereka langsung bergegas menuju Masjid setelah menyapa sekadarnya pada Akbar yang sedang menegakkan kembali motornya yang direbah paksa oleh cewek tadi sebelum dia pergi.
*
“Tadi pagi aku udah nyoba ngajakin Ayah sahur bareng. Meskipun awalnya aku nggak berani tetep aku lakuin juga,” ujar Akbar. Mereka sedang duduk di taman Masjid menunggu waktu berbuka puasa. Ada hal lain yang bisa Zahra rasakan, suatu ketenangan dari Akbar.
                “Lalu?”
                “Untungnya dia mau.” Ayahnya memang sempat terkejut dan tidak mengira Akbar akan mengajakngya untuk sahur bareng. Karena selama tujuh belas tahun hidup anaknya itu hanya dihabiskan dengan huru-hara, membuat keonaran dan segala perbuatan buruk lainnya. Laki-laki tua itupun sudah kehabisan akal untuk menasihati anaknya yang bengal. Ada sebentuk senyum dan atmosfer kelegaan di suara itu. “Ternyata puasa itu susah ya, Zah.” Desisnya lalu tertawa kecil. Zahra ikut tertawa pelan, tawa khawatir.
                “Aku juga udah mutusin, Vita. Aku rasa dia bukan yang terbaik untuk aku. Dan aku tidak yakin bisa membuat dia berubah. Aku mau berubah. Nggak seperti dulu lagi.” Akbar merasa sudah memenemukan jalan terangnya berkat seseorang yang baru dikenalnya dua hari yang lalu. oleh karena itu dia mau meninggalkan kebiasaan hidupnya terdahulu yang melenceng jauh dari syariat islam. Dan perubahan itu harus dilakukan secepat mungkin sebelum telambat.
                “Vita?” tanya Zahra. “Oh, I see. Yang di halte tadi? Akbar mengangguk. “Kenapa? Dia cantik lho.”
                “Memang. Seksi lagi,” tambahnya lalu tertawa mendesis. “Tapi yang aku butuh bukan cuma cantik di wajah doang. Hatinya juga harus cantik.” Zahra mengkerutkan kening tidak mengerti dengan “hati cantik” yang dimaksud Akbar.
                “Aku butuh cewek yang bisa merubah aku, Zah. Dan aku sudah temukan dia.” Ujarnya bersemangat.
                “Oh ya? Bagus deh. Dia pasti cantik.” Kata Zahra polos.
                “Iya. Dan yang terpenting hatinya juga cantik dan dia juga menjaga nilainya. Tapi aku nggak tau, dia suka juga sama aku atau enggak,” terdengar lesu di kalimat terakhir itu.
                “Kenapa? Kamu itu kan cakep, pasti dia suka.” Zahra memberikan dukungan.
Akbar tersenyum tipis, “Aku nggak yakin. Aku bukan cowok baik-baik. Keluargaku berantakan. Dan kami baru kenal. Baru juga dua hari yang lalu.” ujarnya pesimis. “Mau tau nggak di mana?”
                “Dimana?”
                “Di halte. Waktu itu kami hampir tabrakan di pintu bis.” Zahra membelak. Dua hari yang lalu? Di halte? Tabrakan? Itukan…
                “Aku suka wajah cantiknya yang terlindung kain cokelat itu. Senyum manisnya dengan one dimple at her left cheek. Aku suka dia yang relijius tapi tetep asyik buat ngobrol.” Tambahnya. “Kamu kenal kan, Zah, orangnya?”
Zahra tetap terdiam. “Karena gadis itu lho, Zah, aku berani dateng ke Masjid, pake baju koko begini, terus puasa. Padahal dulu mah boro-boro.” Akbar berceloteh serius seolah gadis yang dimaksudnya bukanlah Zahra dan tidak sedang ada di sini.
                Akbar menatap lembut gadis yang membelalak di sampingnya ini sampai suara adzan magrib menyadarkan keduanya. Ainy datang menghampiri keduanya lalu menyodorkan dua kotak makanan beserta tajil lalu pergi lagi.
                “Aku baru tau pacaran itu nggak boleh dalam islam. Makanya aku nggak akan maksa kamu buat mau jadi cewekku. Kamu tau bagaimana perasaanku, itu saja udah cukup.” Katanya kembali.
                Zahra tersenyum mendengar kalimat itu. Kalau boleh jujur, dia juga suka Akbar yang jujur, apa adanya, dan asyik dia ajak ngobrol. Beda dengan Kang Abi yang dewasa itu. Ada hal lain pada diri Akbar yang tidak bisa untuk dijelaskannya sejak pertemuan pertama mereka di halte dua hari yang lalu. Tapi dia harus pegang teguh keyakinannya ini. Dia harus menjadi muslimah seutuhnya. Dan ini adalah tantangan yang harus dia taklukkan untuk tujuan tersebut.
                “Aku akan berusaha menjaga perasaan ini, dan kalo udah saatnya nanti, aku harap semuanya dapat terwujud. Kamu mau kan, Zah?” tambahnya lalu menatap Zahra penuh arti. Zahra membuang pandangannya mengindari mata Akbar. Dalam keberpalinngannya itu dia mengangguk samar. Tapi Akbar bisa menangkap gerak pelan itu, dan itu menghangatkan dadanya juga menepis kabut kelam yang menyelimuti hatinya selama ini.
                “Syukron, Zah.” Ucapnya lembut.
____The End____

Tidak ada komentar:

Posting Komentar