Jumat, 11 Maret 2011

Salah Kaprah!!

“Ya ampun Ci, cakep banget ya?” puji ku dengan tampang super terpesona
“Udah dari dulu kali Ta, kamu aja yang baru sadar” Uci tersipu malu mendengar pujianku.
“Kamu udah tau ya? Kok nggak bilang-bilang aku sih?? Proterku.
“Kamu ngomongi apa sih Ta?” Uci membuyarkan lamunanku.
“Itu loh cowok yang lagi nyender di tiang basket!” tunjukku ke a rah seorang cowok berkulit sawo matang yang sedang bersandar di tiang basket sembari memegang lembaran kertas yang aku tebak itu adalah kertas absensi siswa baru. Uci cemberut mendengar penjelasanku, karena yang aku maksud bukan dia, malah kak Evan, ketua osis yang lagi bersandar di tiang basket.
Ini adalah hari ketiga kami sebagai siswa baru SMA N 13 Yogyakarta mengikuti MOS. Yang berarti hari terakhir kami di siksa oleh para senior-senior yang ‘rajin’. Lusa senin kami sudah sah menjadi siswa SMA dan mengenakan seragam abu-abu serta legal meninggalkan si putih biru yang sudah pas-pasan ini.
Sedang asyik-asyiknya mengagumi ciptaan Tuhan yang aku temui sejak awal MOS, Uci menarik paksa tanganku dan mengajakku kekantin. Sudah sejak bel istirahat aku mendengar dia menciap-ciap kelaparan. Tak tanggung-tanggung, dia memesan seporsi mie bakso, 5 tahu isi dan segelas the. Aku menggeleng-geleng melihatnya. Sedangkan aku hanya memesan bakso biasa plus the panas, tenggorokanku lagi radang sehingga tidak memungkinkan untuk minum es.
Pikiranku sedang tak bersama jasadku. Ia melanglang buana entah kemana, dugaanku sih sedang bersama kak Evan tercinta. Hehehehe …
“Auh!! Ya ampun, punya mata nggak sih?”
Keningku berkerut, heran kenapa cewek berambut panjang tergerai di depanku yang menurutku lebih mirip kuntilanak ini mencak-cak padaku. Baru aku sadar kalau seragamnya penuh noda dan basah oleh kuah bakso, itu pun setelah Uci menyenggolku berkali-kali. Ku lihat mangkok baksoku tak lagi di nampan, tapi sudah tercerai berai di lantai yang tak kalah kototrnya dengan seragam tu cewek. Aku melirik pada Uci, tampangnya tak kalah cemasnya, malah lebih pucat menurutku. Ku kembalikan tatapanku ke Widia, aku tahu namanya dari badge ya ada di dada kanannya.
“Maaf kak” suaraku, serak nyaris tak terdengar.
“Enak aja! Maaf nggak akan bikin baju aku jadi bersih lagi tau nggak!!” bentaknya. Aku merasakan pusing disekujur kepalaku. Belum resmi menjadi siswa di sini aku sudah dapat musuh.
Gerombolan anak-anak yang penasaran mulai membentuk lingkaran, menganggap ini adegan yang patut di tonton. Mentalku pias, barisan penonton terdepan mayoritas di tempati oleh senior-senior panitia MOS. Aku merasakan ada percikan air di kakiku. Aku menoleh ke kanan, ku lihat Uci terhuyung, baksonya hampir saja tumpah kalau saja tidak diselamatkan oleh salah satu dari penonton dan hanya dalam hitungan detik, Uci pingsan! Bagus! Ya Allah Ci, aku di bentak kok kamu yang pingsan? Nyaliku tambah ciut, inilah awal dari nightmare yang harus aku jalani selama SMA.
“Ada apa nih?” Tanya seseorang yang menyeruak dari kerumunan penonton. Entah harus bersyukur atau malu tapi intinya ada atmosfer kelegaan di hatiku. Kak Evan datang melerai kami, kak Widia mulai melakukan pembelaan diri, Aku hanya bisa mengangguk atas argument yang benar dan menggeleng saat argument itu salah menurutku.
Kak Widia tambah berang saat kak Evan membelaku dengan dalih bahwa aku adalah siswa baru. Tapi dia juga menyuruhku meinta maaf. Ok, aku mau, toh aku juga yang salah jalan nggak liat-liat.
Masalah selesai, aku tak henti-hentinya mengucapkan terima kasih. Kak Evan pun selalu tersenyum setiap kali aku berterima kasih. Sengaja aku lakukan terus menerus agar bisa melihat senyum yang membuatku panas dingin itu.
Setelah itu, aku belari menuju UKS, tempat Uci berada. Ngapain sih pake acara pingsan segala? Coba tadi ada dia, kan bisa jadi saksi bertemunya dua sejoli gitu? Pikirku di sepanjang perjalanan menuju UKS.
Satu lagi nilai positif yang aku dapat dari kak Evan. Selain cakep, pintar, berwibawa, dia juga adil. Terbukti dari cara arbitrasinya memecahkan masalahku dengan kak Widia barusan.
###
Jam tujuh lewat tiga. Masih ada sekitar dua puluh menit sebelum bel berbunyi dan lima menit bisa aku pakai untuk berkaca. Tak henti aku memandangi pantulan diriku yang dibalut rajutan benang putih abu-abu. Ku pandangi dari atas ke bawah. Kemeja yang disetrika rapi, rambut sebahuku terikat rapi dengan pita berwarna coklat, plus jepit kecil dirambut kananku berwarna senada dengan kuncirnya. Aku menarik napas lega.
“Ta, anaknya om Adi juda sekolah di sekolah kamu loh” Aku mendengar perkataan Ayah di meja makan saat menghampiri mereka untuk pamitan. “Oh” balasku. Aku tak sempat lagi menanggapi pernyataan Ayah.
Selesai pamitan aku langsung pergi. Harus ke halte dulu buat nunggu bis kearah sekolahku. Ayah tidak bisa mengantarku karena kantornya dan sekolahku beda jurusan.
Jam coklat di pergelangan tangan kiriku menunjukkan pukul 7:15, untung saja tidak memerlukan waktu lama untuk menunggu sang bis.
Sesampainya di sekolah, senyumku terkembang. San pujaan hati baru saja datang dan tengah memarkir motornya. Ku perlambat langkahku biar bisa barengan.
“Pagi kak” sapaku. Dia tersenyum, subhanallah manisnya, ternyata dia punya one dimple at his left chick. Jarang-jarang kan cowok punya lesung pipi? Dan benar saja, dia membalas sapaanku, kami pun berjalan sejajar menuju kelas masing-masing.
Aku memerhatikan sekelilingku, tak ada lagiyang berseragam putih biru. Semuanya telah mengenakan putih abu-abu pertanda grade kami telah naik dari junior menjadi senior high school.
“Ta, Tita” kak Evan melambai-lambaikan tangannya di depan mukaku. Ups, aku ketahuan melamun, malu-maluin banget deh. Ternyata dia udah sampai di kelasnya, XII IPA 2 terpajang di ats pintu masuk. “Duluan ya” pamitnya. Aku mengangguk. Dari dalam aku lihat kak Widia datang menyambutnya dan tersenyum sinis padaku ku percepat langkahku menuju kelas X3 kelasku, bel sudah menjerit-jerit pertanda kami harus bersiap-siap untuk upacara.
###
Gila ma men, panas banget. Aku sudah menghabiskan setengah lusin helai tissu buat mengelap keringat yang mengucur. Sekarang hampir closing dari upacara, tapi harus ditunda dulu karena ada pengumuman pemenang olimpiade sains tingkat provinsi yang diikutu sekolah ini beberapa minggu lalu. Ternyata sekolahku termasuk jajaran sekolah berprestasi. Dari 6 cabang mata pelajaran yang di perlombakan, sekolahku menyabet 3 diantaranya, kimia, fisika dan computer. Aku merasakan siku Uci yang berbaris disebelahku menyenggol-nyenggol nakal saat nama Evan Chandra Perdana di sebut sebagai juara II cabang kimia. Kimia? Aku paling bolot pelajaran itu sejak zaman SMP. Bertambah lagi satu alasan untuk menyukai kak Evan tercinta.
Sepanjang 2x45 pelajaran biologi sehabis upacara, tak lebih dari 30% materi yang disampaikan guru terserap oleh otakku. Aku terus memikirkan bagaimana cara agar bisa dekat sama kak Evan. Memanfaatkan kelemahanku di bidang kimia dan kejeniusan kak Evan di bidang itu membuatku tersenyum lebar. Aku akan menjadikan dia sebagai guru private. Sambil menyelam menangkap ikan gitu.
###
Hampir satu bulan aku menjadi siswa SMA. Upaya yang aku lakukan di hari pertama masuk SMA pun mulai menunjukkan titik terang. Sehabis pulang sekolah kalau tidak ada kegiatan, kak Evan selalu memberiku pelajaran tambahan, nggak Cuma kimia, tapi pelajran Eksa lainnya. Yang mengherankan, sikap kak Widia yang diawal-awal dulu menunjukkan permusuhan, sekarang tidak ada lagi, dia begitu ranah. Aku bersyukur dengan perubahan sikapnya itu. Dengan begitu aku mempunyai banyak teman yang kelas XII.
“Ta, kayaknya kak Evan juga suka kamu deh, dari tadi dia ngeliatin kamu terus” kata Uci disela-sela mengunyah siomaynya.
Aku tersipu malu, “Ah kamu Ci, bisa aja deh bikin aku GR” Aku sadar kok, sejak aku memasuk kantin hingga 15 menit berselang, kak Evan yang duduk arah horizontal dariku terus menatapku. Tapi aku tak mau berspekulasi seperti Uci.
“Perlu bantuan?” Tanya Uci mengagetkanku. Aku bengong seperti orang bego. Belum sempat aku mempertanyakan apa maksud perkataannya dia sudah berteriak dengan lantangnya, “Kak Evan kok ngeliatin Tita terus sih dari tadi?” Aku kaget, malu, kesal, marah, campur baur menjadi satu. Kamu temen apa bukan sih Ci? Batinku. Aku tak berani melihat kak Evan secara langsung, dari tatapan sekilasku, aku melihat dia hanya tersenyum menanggapi ulah konyol Uci. Untuk mencegah tingkah Uci agar tidak bertambah aneh, aku menggamit lengannya dan menariknya paksa meninggalkan kantin, kepergian kami diiringi puluhan pasang mata yang menatap heran dan geli.
Uci masih saja tertawa meskipun rona kesal di wajahku tak kunjung hilang. Untung saja di kelas saat istirahat selalu kosong jadi kami bisa leluasa membahasa masalah ini.
“Gimana dia bisa tau kalo kamu suka sama dia, Ta? Aku kan Cuma mau bantuin kamu” Tandas Uci beralibi membela diri.
“Tapi aku takut dia nggak suka, Ci!”
“Kata siapa? Buktinya dia itu selalu belain kamu, ingat nggak kita MOS? Dia mau jadi guru privat kamu meski nggak dibayar and dia itu ngeliatin kamu terus, Tita!” Jelas Uci panjang lebar.
###
Panas terik memanggang kota Yogyakarta. Begitu bel pulang berbunyi, keadaan sekolah yang tadinya tenang berubah menjadi super ramai. Selayaknya hewan ternak yang di lepas, para siswa menghambur memenuhi halaman, tersebar hingga ke jalan protocol.
“Tita!” Seseorang berteriak memanggilku. Rupanya kak Evan tengah berlari-lari kecil menghampiriku. Aku bingung mau bersikap bagaimana setelah insiden tadi di kantin.
“Ta, besok kakak nggak bisa ngajar, ada acara keluarga. Tapi kalo kamu mau datang aja ke rumah kakak”.
“Emang boleh?” Tanyaku heran. Inikan acara keluarga, kok pake ngajakin orang luar sih?
“Kenapa nggak? Jam 3 sore ya. Ntar alamatnya kakak sms-in. Bye Tita” Kak Evan pergi pulang, tapi tidak sendiri, dia membonceng kak Widia. Pengen deh dibonceng kak Evan, tapi nggak apa-apalah, toh aku udah di undang kerumah, berarti … pikiran nakalku mulai menjalari sel-sel di otakku. Biarin aja, biar kak Widia pedekate sama orangnya aja, tapi aku sama orangnya dan orang tuannya juga … hehehe
###
Kesal!!! Kenapa sih Ayah harus ada acara mendadak kayak gini? Mana aku harus ikut lagi. Padahal hari ini mau ke rumah kak Evan. Semuanya jadi batal gara-gara acara mendadak Ayah. Aku cemberut di sepanjang perjalanan, sementara Ayah terus berceloteh perihal acara ini. Kata Ayah kami mau ke rumah saudaranya yang lama nggak ketemu sejak kami pindah ke Surabaya dan pindah lagi ke Yogya. Aku pun sama sekali tak ingat saat Ayah bilang, dulu waktu kecil aku sering main ujan-ujanan sama anaknya om Adi. Ayah juga bilang, kalo anaknya om Adi nggak sabar ketemu Tita kecil yang sekarang udah ABG.
Aku sama sekali tak berminat mendengarkan penjelasan ayah, malah ayah asyik ngobrol berdua sama ibu. Pasti nanti di rumah saudaranya ayah, aku bakal jadi kambing congek. Anaknya juga pasti orang yang culun, berkacamata tebal dan kutu buku, karena kata ayah om Adi adalah dosen besar di Universitas Negeri terkemuka di Yogya, buahkan jatuh nggak jauh dari pohonnya. Membayangkannya saja aku sudah ogah-ogahan. Beda halnya dengan kak Evan yang T.O.P B.G.T!!!!! kedua orang tuaku masih sibuk ngobrol ria. Aku memutuskan untuk mengirim sms ke kak Evan.
‘kk, kyknya Tita g jd d k rmh kka, ad acra kel da2kn gt. Mv ea’ Send. SMS terkirim. Selang 5 menit datand balasan dari kak Evan.
‘kok gt? Pkknya kka tggu! SeXan kka lg bljr sm tmen, ad kmu biar tmbh rme. Dtggu ya!’
Aku hanya menghela napas. Nggak enak hati sama kak Evan yang lagi ada acara keluarga tapi bela-belain masih mau ngajarin aku. Ayah sih ngasih taunya mendadak bange, coba kalo dari jauh-jauh hari. Gagal deh camer.
Memasuki halaman sebuah rumah yang terbilang mewah. Setelah memarkirkan mobil kami pun turun dan memasuki rumah tersebut. Sambutan hangat kami dapat dari om Adi sekeluarga. Benarkan tebakanku, om Adi itu botak, istrinya masih terlihat cantik dan satu lagi anak laki-laki yang usianya masih siswa SMP, dia berkacamata! Aku tak melihat anak om Adi yang di maksud ayah.
Aku tak ambil pusing. Otakku terus berpikir bagaimana caranya izin pulang duluan dan cabut ke rumah kak Evan. Ternyata om Adi adalah saudara sesusu ayah.
“Nah Tita, ini anak om yang tertua, sekolahnya sama dengan kamu. Mas Riki ini calon menantu kamI” Om Adi memperkenalkan anaknya.
Astaghfirullah. Aku terperanjat bukan main, shock, bener-bener di luar dugaan. Ternyata anak om Adi yang aku kira tak jauh beda dengan dirinya itu ternyata bertolak belakang, dia cakep banget dan lebih parahnya lagi dia itu adalah kak Evan!! Aku yakin tidak salah orang, dan aku benar-benar bersyukur tidak sampai pingsan, karena yang di maksud Om Adi calon menantu adalah kak Widia!! Oh No!! Aku salah kaprah selama ini!!
“Yuk Ta, kita belajar” Ajak kaka Evan. Aku speechless.

_^The End^_

Tidak ada komentar:

Posting Komentar