Jumat, 18 Desember 2015

A Story From Oktober


Oh, God, how ng I forgot my blog? Ntahlah, kapan terakhir kali mengunjungi blog tersayang ini. Well, kali inaku datang dengan cerita yang sedikit berbeda dari sebelum-sebelumnya. Biasanya aku datang dengan cerita full a bowl of happiness, tapi sekarang ada sedikit cerita sedih. Yahhh... meskipun sekarang semuanya sdah membaik. Akhir tahun ini, tepatnya 3 Oktober 2013, awal kisah tragis itu ceilaaaa hahaha... Yes, 3 Oktober aku mutusin ejak. Aku kira ini sama kayak kebiasaan lama. Ucapan putus dari aku Cuma waktu emosi aja, bukan sesuatu yang serius. Hell! Ini serasa mimpi, karena malem sebelum putus kami masih bak-baik aja, dan ejak masih nemenin aku sampe malem nungguin temen pulang.  Tapi ternyata ejak menanggapinya serius dan akhirnya kita putus beneran. Mungkin ini akumulasi dari rasa penat dan capeknya ejak ngadepin tingkah aku selama hampir 4 tahun ini. Ejak memang laki-laki yang hebat, mampu bertahan dengan cewek keras kepala, suka semaunya sendiri, suka ngatur, posesif dan sering nyusahin macam aku ini. Ditambah lagi aku sering main-main dengan kata putus. Entah sudah berapa puluh kali aku minta putus, yang akhirnya kejadian dan ternyata aku NGGAK SANGGUP! Seminggu pertama putus aku masih minta balikan sama ejak, ya karena aku sadar, aku yang salah. aku masih berusaha memperbaiki semuanya sebisaku. Tapi berjalan keminggu kedua, hal itu terasa semakin sulit. Dan yak, ada orang baru masuk ke dalam kehidupan kami. Ini buah kesalahan Beni (temen satu prodi) yang deketi cewek pake sosmed ejak dan akhirnya cewek itu malah naksir sama ejak bukan sama Beni. Tanggal 23 Oktober aku tau mereka jadian, entah feeling aku selalu bener. Malemnya aku ngajakin ejak ketemuan buat perpisahan yang terakhir kali. Setidaknya ini bisa menjadi pertemuan terakhir dan aku bisa minta maaf untuk yang terakhir kalinya. Malem tanggal 23 kami ngobrol di UNSRI, and I say, I will let him go. Sampai ketika dia jalan dia mau nganterin pulang, aku kelepasan ngomong, kalo ada cowok yang nembak aku seminggu yang lalu. Ejak kaget banget sampe motor diremnya mendadak dan tiba-tiba marah. Dia terus mengintrogasi aku sampe tiba ke depan rumah, sekitar dua jam berdiri di depan rumah nanya ini itu dan akhirnya dia nangis. Ejak bilang sakit banget denger cerita kalo ada cowok lain yang deket sama aku. I dont know, tapi aku percaya ucapannya jujur. Karena udah terlalu larut malam akhirnya dia pulang. Sampai dirumah, dia langsung acc bbm aku (karna waktu itu sempet aku delcont). Sampe jam 12 malam dia terus bbm mengintorgasi dilanjutnya dengan nelpon sampe jam 3 pagi, minta screenshot-n chat aku sama cwok yang nembak itu (sampai sekarang Ejak nggak tau kalo sore tanggal 23 aku nerima cowok itu karena emosi). Dia nyuruh aku delcont semua cowok yang mulai PDKT ke aku (karena dengan nurutnya aku kirim semua sceenshootan chat yang ada. Waktu itu ada 3 cowok yang nembak, Kak Arif, Kak Dika (ini cowok kakak tingkat penjas 2010 yang sebenarnya aku suka dari awal kuliah jauh sebelum aku suka sama ejak), Leo (temen yang udah nembak dari jaman SMP tapi nggak pernah diterima, maaf ya Leo) sama satu lagi rekan di tempat kerja yang lagi kuliah S2 penjas di UNSRI, namanya Yodi, angkatan 2010 juga. Awalnya aku nolak dan mau nurutin kalo dia mau ngelakuin hal yang sama; jauhin cewek lain yang deket sama dia, tapi dia ga mau dengan alasan mau senang-senang dulu dan aku ga tau maksudnya apa. Tanggal 24 Oktober, cowok yang nembak aku udah janji mau nganterin pulang, dan bodohnya ketika keluar dari tempat kerja yang jemput malah ejak. Dia dateng sambil marah-marah karena tau cowok itu bakal jemput. Ketika pas lagi sama ejak, Kak Arif (cowok itu) nelpon. Dengan seenaknya ejak bilang, jangan ganggu cewek aku lagi! aku bingung mau marah atau gimana. Ga lama setelah telpon ditutup, ada sebuah motor, yang aku kenal banget, sekitar 100 meter di depan kami, muter balik menjauh, yaa itu motornya Kak Arif. Like a sinetron bukan? Tapi NYATA! Alhasil ejak yang nganterin balik, plus dia bilang, kita BALIKAN tapi sambil marah-marah. Aku tau sebenernya dia masih marah dan kecewa dengan sikapku, tapi rasa takut kehilangan membuatnya harus menelan rasa sakit hatinya.  Setelah tanggal 24 itu, hampir setiap hari ejak ngajakin ke rumahnya, entah untuk alasan apa. Untung ada kakaknya, aku bisa cerita semuaaaanyaaaa, mulai dari awal putus sampe sikap ejak ke aku waktu itu. Perjalanan setelah tanggal 24 itu nggak mulus-mulus amat. Ya namanya punya dua pacar, tapi ejak janji bakal mutusi cewek itu secepatnya dan lagi nunggu moment yang pas. Tapi aku mulai ga tahan dengan kondisi itu. Sampai tanggal 1 November, pulang dari karoke ejak ngajakin ke rumahnya lagi. Disana aku minta kepastian. Kalo dia ga bisa tegas, aku yang bakal mundur dan konsekuensinya aku ga mau ketemu ejak lagi SELAMANYA! Denger statment keras ku itu, ejak malah marah, matanya merah menahan tangis menurutnya sikapku untuk mundur menunjukkan aku ga berusaha buat mempertahankan dia. Aku dalam posisi serba salah. Namun akhirnya, ejak bisa mengambil keputusan tegas, he will stay with me. Dan tanggal 7 November, ejak mutusin cewek itu. Awalnya dia takut ketahuan kami balikan, karena pantangan bagi ejak buat mencari musuh dengan siapapun, bahkan dengan mantan-mantanya yang dulu sekalipun, sampe sekarang mereka masih berteman. Jadi waktu ketauan balikan sam aku, ejak masi berusaha minta maaf sama cewek itu. Dan cewek itu juga sih, masih mita tolong ini itu sama ejak, kali ini aku mikir buat beneran mundur dari kehidupan ejak, aku ga bisa terus berada dalam kondisi seperti ini. Ditambah lagi dengan ulah nggak masuk akalnya buat ngancurin hubungan aku sama ejak dengan buat chat bbm palsu. Tapi ejak terus berusaha meyakinkan bahwa dia bener-bener udah balik ke aku, NO ONE ELSE! Seiring dengan berjalannya waktu, sampai sekarang, semuanya sudah kembali normal. Ejak sudah kembali menjadi ejak yang dulu. Kalo ditanya kenapa mau balikan lagi? Guys, 4 tahun bukan waktu yang mudah buat dilupain. Banyak hal yang udah dilewati bersama dan beneran bisa bikin gila kalo keinget terus. Selain itu, selama hampir 4 tahun yang lalu, ejak sama sekali ga pernah yang namanya nyeleweng, dia setia banget! Kejadian ini pun buah kesalahanku yang membuat ejak akhirnya harus mencari pelampiasan kemarahannya. Seharusnya semua pihak ngerti dan sadar posisi. Kalo ada orang baru yang masuk ke hubungan yang udah berlangsung lama, jangan ngarep banyak deh selain jadi pelampiasan doang. Dan alasan lain yang buat aku mau balika adalah sikap jujur ejak, dia cerita apapun yang dia lakuin selama ga sama aku TERMASUK HAL-HAL YANG GAK SEHARUSNYA dia ceritain. Berat memang sih buat nerimanya karena di luar batas wajar menurutku, tapi ya udahlah, udah lewat juga.  Dan bagiku itu udah cukup bukti keseriusannya, ditambah lagi ejak sempet nangis beberapa kali waktu aku ngomong mundur (tangis cowok lebih tulus daripada cewek). Dan satu lagi, ternyata selama putus, ejak ga mau orang lain tau kalo kami putus dan dia punya pacar baru. Setiap ditanya temen, pasti bilangnya baik-baik aja sama Hesti. Lah pacar barunya? Ya ditutup-tutupin, cuma lingkungan terdekat yang tau mereka pacaran. Well, ini cukup jadi alasan buat nerima ejak kembali hihi.... Dari kejadian ini banyak banget pelajaran yang bisa aku ambil, yang pertama KURANGIN SIFAT EGOIS DAN KERAS KEPALA haha dan yang terpenting JANGAN PERNAH SIA-SIA KAN ORANG YANG SAYANG BANGET SAMA KITA, karena kesempatan kedua untuk memperbaiki semuanya belum tentu ada.

Sabtu, 11 Februari 2012

Sehelai Kain Cinta-Mu


“Zah, nanti siang jadikan?” Ainy bertanya kepada Zahra yang tengah khusyuk membaca buka 99 Cahaya di Langit Eropa di kursi sebelahnya ini saat mereka sedang jam kosong. Namun gadis itu tetap tenggelam dalam buku bacaannya tanpa terusik.
                “Hei, Zahratul Marwah! Gimana?” ulang Ainy lagi.
Zahra mengalihkan perhatiannya dari buku karangan Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra itu, “Iya dong. Kita kan udah janji sama Kang Abi,” jawab Zahra sambil tersenyum manis.
                “Ah, kamu pasti mau ketemu Kang Abi. Iya kan?” goda Ainy.
                “Enggaklah. Karena Allah,” jawab Zahra jujur. “Tapi, boleh juga sih.” Dia cepat menambahkan lalu tertawa kecil, begitu pula Ainy.
*
Zahra duduk sendirian di halte kedua setelah dari kostnya. Dia sedang menunggu Ainy yang masih dalam perjalanan.  Rencananya mereka mau ikut majelis taqlim lagi yang rutin diadakan setiap Rabu di Masjid Agung Palembang, hari ini. Sudah hampir sebulanan ini mereka aktif dalam kegiatan itu. Dan sejak bulan ramadhan ini, kegiatan itu bertambah intensif.
                Sebenarnya, Zahra bukanlah gadis yang fanatik terhadap hal yang berbau keagamaan seperti ini. Awalnya Ainy –sahabatnya- yang memang anak seorang ulama itu yang mengajaknya pertama kali untuk ikut sebuah pengajian remaja. Dan semenjak saat itu dia rajin ikut acara senada, apalagi ketua pengurus kelompok yang mereka ikuti ternyata cakep. Hehehe
                Zahra melihat seorang gadis cantik dalam balutan biru lazuardi turun dari bis di halte tempatnya menunngu ini. Ainy memang gadis yang alim dan selalu menggunakan jilbab sebagai penutup auratnya dan sebentuk ketaatan kepada Sang Pemilik Hidup. Begitu juga Zahra, walaupun awalnya dia mengenakan jilbab hanya sekedar busana untuk acara tertentu saja, sekarang dia telah memakai jilbab itu sebagai satu pakaian wajib dan kodratnya sebagai perempuan.
                Dia memutuskan untuk memakai jilbab sekitar sebulan yang lalu, saat pertama kali mereka mengikuti pengajian itu. “Ai, aku mau pakai jilbab,” tuturnya pada Ainy saat itu.
                “Alhamdulillah,” ucap syukur Ainy. “Tapi niat kamu bukan karena Kang Abi kan?” dia bertanya tanpa maksud menyinggung. Zahra sempat mengatakan kekagumannya kepada cowok kuliahan semester tiga itu saat pertama kali dirinya mengajak Zahra bergabung dalam kelompak pengajiannya. Dia juga sempat mengatakan kalau Kang Abi itu suka perempuan yang menutup aurat dan taat beragama. Ainy hanya takut saja, kalau-kalau niat Zahra memakai jilbab seutuhnya bukan ikhlas karena Allah, tapi karena manusia. Apalagi mengingat, Zahra adalah gadis yang terbilang “bebas” dalam artian posifit, dia bergaul dengan siapa saja dan agak tomboy.
                “Enggak kok, Ai,” balas Zahra jujur tanpa rasa tersinggung. “Aku baru sadar sekarang. Apalagi setelah mendengar ceramah ustadz minggu kemaren tentang Kemulian Seorang Wanita, aku malu kalau nggak menutup nilaiku.” Jawabnya kalem. Sejak saat itu hingga sekarang, Zahra konsisten dengan ucapannya itu. Dia perlahan mulai membenahi hidupnya agar sesuai jalan syariat Islam.
                Ainy menghampiri Zahra yang sedang duduk di bangku besi halte TransMusi, sesungging senyum terbentuk di bibir gadis itu. “Maaf ya lama,” katanya begitu ikut duduk di samping Zahra.
                “Nggak pa-pa,” balasnya, “aku baru nunggu selama tiga jam.” Tambahnya lalu tetawa kecil. Ainy pun ikut tertawa. Zahra memanglah gadis periang yang suka bercanda. Tidak lama kemudian bis yang mereka tunggu segera datang.
                Tidak butuh waktu lama untuk sampai ke halte berikutnya. Hanya dibutuhkan dua puluh menit perjalanan, dan untungnya jalanan kota Palembang saat siang di bulan puasa seperti ini tidak sepadat hari-hari biasa.
                Tidak perlu menunggu lama. Setelah sang sopir menepikan bis berbadan besar itu di pinggir halte, keduanya segera turun. Mungkin karena terlalu bersemangat atau tidak berkonsentrasi karena baru saja membalas teguran abang-abang yang bertugas membagikan karcis bis, Zahra tidak menyadari ada seseorang yang juga terburu-buru hendak masuk ke dalam bis. Dan nyaris saja mereka bertabrakan.
                “Maaf,” pintanya kepada seseorang yang hampir ditabraknya. Tapi orang tersebut hanya melongo, menatapnya tanpa kata. Dia pun ikut bingung melihat tampang bingung di depannya itu. Barulah ketika Ainy menepuk pundaknya dari belakang kebingungan itu terpecah.
                “Permisi,” ucapnya pelan. Entah refleks atau apa, orang tersebut mundur satu langkah memberikan jalan bagi keduanya untuk lewat.
                “Kamu kenal, Zah?” Ainy bertanya setelah mereka agak jauh meninggalkan seseorang cowok yang masih berseragam SMA dan agak berantak itu, berantakan atau memang sengaja di-style begitu? Entahlah.
                “Enggak!” sergahnya cepat. “Aneh, ya!?”
Lalu mereka secara berbarengan menoleh ke belakang, siapa tahu objek pembicaraan mereka ada di situ. Dan, benar saja. Kemudian, nyaris bersamaan lagi, mereka tertawa, karena cowok itu ditinggal bis yang tadinya mau dia naiki dan itu cowok masih melongo di tempat.
                Tanpa kedua gadis itu ketahui, Akbar, cowok yang masih mematung di halte itu dia dalam pesona. “Anjrit! Cantik banget tu cewek!.” Desisnya sambil tersenyum kecil mengingat senyum Zahra, gadis yang hampir ditabraknya tadi.
*
Akbar mengikuti kemana saja langkah kedua gadis itu dan terhenti ketika keduanya memasuki halaman sebuah Masjid. Ragu-ragu dalam hatinya untuk ikut masuk kesana atau tidak. Dosa yang dibuatnya suda terlalu banyak bertumpuk selama ini. Dia takut Allah tidak akan menerimanya kalau dia bertamu kesini. Apalagi di hari ketiga puasa ini, tiga hari juga dia sudah bolong puasanya.
                Namun, entah dorongan dari mana, kakinya melangkah tanpa kendali ikut masuk ke areal Masjid. Tapi hanya sampai di situ saja. Keberaniannya tidak dapat menembus sucinya rumah Allah. Dari balik pintu kaca besar Masjid Agung itu, dia duduk mengamati seseorang yang menuntun alam bawah sadarnya ke tempat ini.
Lesung di pipi kirinya masih bisa terlihat meskipun dia berada nun  jauh di dalam sana dan tenggelan di antara puluhan kepala berkerudung lainnya. Banyak yang lebih cantik di sana, tapi pandangannya tetap tertuju pada gadis dalam balutan cokelat tanah itu.
Tiga jam setengah. Acara di dalam Masjid itu hampir selesai.
“Mulai hari ini, pengajian kita akan diadakan setiap hari. Dan kita usahakan sesering mungkin mengadakan buka bersama juga kegiatan sosial di jalan-jalan raya ataupu panti asuhan,” terdengar suara dari dalam Masjid yang disampaikan oleh seorang pembicara muda.
“Kalau ada teman kalian yang mau bergabung di sini, silahkan diajak. Saya akhiri, wabilahitaufik walhidayah, wasalamua’alaikum warohmatullahi wabarokatuh.” Seiring berakhirnya kata-kata penutup itu, berakhir pula kegiatan di dalam Masjid.
Akbar segera cepat-cepat pergi. Tapi kurang cepat untuk kondisinya seperti ini.
“Lho kenap disini? Kok nggak ikut masuk?” tegur pembicara yang tadi menutup acara pengajian itu, Kang Abi.
Akbar tersenyum malu, lalu segera bangkit dari posisi duduk jongkoknya selama tiga jam lebih tadi setelah melihat sesosok perempuan muncul di balik laki-laki itu.
                “Ada apa, Kang?” Zahra bertanya kepada Abi yang berhenti tiba-tiba di pintu masjid.
                “Ini lho,” Abi menunjuk anak laki-laki yang terlihat sangat canggung di hadapan mereka. Akbar sendiri merasa seperti ketangkap basah pas nyolong ayam karena dikerubutin oleh orang banyak seperti ini.
                “Nggak pa-pa, Bang,” elak Akbar, “saya masuk dulu.” pamitnya kepada Abi juga anggota pengajian yang lainnya. Lalu tersenyum malu kepada Zahra. Walau agak ragu Zahra membalas senyum itu.
                Selepas rombongan itu pergi, Akbar keluar dari tempat persembunyiannya di balik pilar besar penyangga atap masjid. Dengan canggung dia memindai seisi bangunan besar ini. Semua orang sibuk dalam kekhusyukan masing-masing. Tenggelam dalam kekhidmatan peribadatan kepada yang Maha Esa. Dia merasa salah tempat jika berada di sini. Dia sama sekali tidak bisa melakukan apa-apa. Padahal dia ini kan orang islam!?
*
                Zahra memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas setelah Sweetheart, satu lagu dari Tiger Baby bersenandung. Yang mengindikasikan ada pesan masuk di ponselnya itu. Ainy baru saja mengabarkan kalau dibakalan telat hari ini, jadi dia menyuruh Zahra pergi duluan tanpa menunggu dirinya.
                Setelah menemukan bangku yang enak di nomor dua dari belakang, dia menjatuhkan diri di sana. Mungkin karena sekarang sedang bulan puasa, jadi lagu-lagu yang diputar di bis-bis kota sekarang kebanyakan lagu religi, bukannya remix yang memekakkan telinga seperti biasanya.
                Gadis itu sedang bersenandung pelan menikuti irama lembut lagunya Maher Zain yang In Sha Allah itu ketika tanpa ia sadari seseorang menghempaskan diri di sampingnya. Terkejut dengan gerakan tiba-tiba itu, dia menoleh sedikit. Lalu keningnya berkerut melihat sebentuk senyum di wajah sampingnya itu. Rasanya kayak pernah ngeliat nih orang deh!?
                Setelah membalas senyum ramah itu, dia kembali membuang pandang ke luar jendela bis lagi. Namun detik kemudian dia harus kembali menoleh ke samping lagi…
                “Mau ke Masjid lagi, ya?” tegur cowok itu.
Keningnya berkerut lagi dengan mata kanan menyipit heran. “Kok tau?”
Cowok itu tersenyum lagi, “Kemaren aku liat kamu ikut pengajian di Masjid itu,” jawabnya.
Oalahh… Zahra ingat siapa orang ini. Dia kan cowok yang kemarin hampir ditabraknya, terus ketinggalan bis, abis itu ngejogrok entah sejak kapan di depan Masjid.
                “Iya. Kamu yang kemaren…,”
                “Iya.” Potong cowok itu dengan cepat. Lalu kembali tersenyum malu. Zahra tidak sadar kalu sepulangnya dari Masjid kemarin, Akbar mengikutinya sampai ke kostannya.
                “Kamu mau kemana?” Zahra bertanya basa-basi saja.
                “Ng… ke Masjid juga,” jawab cowok itu dengan ragu.
                “Mau nongkrong di depan Masjid lagi?” ujar Zahra jahil. Cowok itu tertawa. Zahra juga. “Becanda kok.” Ralatnya cepat.
                Lalu keduanya ngobrol banyak setelah berkenalan sebelumnya. Akbar ini juga masih dua SMA seperti dirinya, hanya saja dia anak SMK. Kebetulan cowok itu mau ke Masjid juga, Zahra langsung saja menawarinya untuk bergabung dengan kelompok pengajian mereka. Awalnya Akbar ragu, namun akhirnya dia terima juga.
                Sesampainya di sana, Zahra segera mencari Kang Abi, ketua perkumpulan mereka. Setelah menemukan cowok itu, dia memperkenalkannya dengan Akbar dan menyampaikan niatan Akbar untuk ikut bergabung dengan kelompok mereka. Zahra pamit meninggalkan kedua cowok itu menuju saf-nya para perempuan di bagian belakang.
*
Sekarang sudah jam lima sore, tapi situasi di Masjid Agung bertambah ramai apalagi ditambah dengan hadirnya puluhan anak-anak dari panti asuhan. Zahra juga Ainy dan cewek-cewek yang lain sedang sibuk mengurusi catering makanan untuk mereka berbuka bersama nanti ketika seseorang mengagetkannya dari belakang.
                “Jadi kan ikut bubar-nya?” dia bertanya setelah melihat tampang bingung Akbar yang baru saja menegurnya. Tiba-tiba Akbar meraih pergelangan tangannya lalu membawanya menjauh dari kerumunan orang banyak. mengajaknya duduk di taman depan Masjid.
                “Aku pulang aja, Zah. Aku malu.” Ucap Akbar pelan menjawab wajah bingung Zahra. Gadis itu tidak mengerti arti raut wajah Akbar.
                “Lho, kenapa? Nggak usah malu,” kata Zahra meyakinkan. “Bener deh!” dia salah sangka mengartikan “malu” yang dimaksud Akbar.
                “Aku malu karena aku nggak puasa, Zah.” Tukasnya jujur.
Zahra tergelak membelalakkan kedua matanya tidak percaya. Akbar nggak puasa? “Maksud kamu?”  tanyanya bingung meskipun dia tahu apa yang dimaksud dengan tidak puasa  di sini.
                Penuturan jujur itu keluar. “Aku jarang banget puasa, hampir nggak pernah malah. Sholat pun mungkin cuma pas lebarang doang. Jum’atan lewat terus. Aku nggak pernah ngaji.” Ujaranya pelan. Dia juga menceritakan latar belakang kehidupan keluarganya yang jauh dari kata akur apalagi harmonis. Ibunya sudah almarhumah dan ayahnya jarang di rumah. Kerja di luar terus. Paling mereka ketemu cuma pagi hari. Saat ayahnya mau berangkat kerja dan dia mau pergi sekolah. Jadi tidak ada yang mengawasi apalagi membimbingnya. Zahra membelalak makin lebar lagi.
“Kayaknya aku nggak pantes deh berada di antara kalian.” Tambah Akbar menyesal. “Lagian niat aku di sini bukan seutuhnya karena Allah.”
Zahra miris. Merasa beruntung meskipun dia anak kostan yang jauh dari orang tua tapi bisa menjadi anak baik-baik. “Kamu beruntung,” ucapnya menanggapi Akbar yang sudah pasrah akan dibenci itu. Cowok itu bingung. Zahara merasakan kelam yang dialami Akbar ketika bercerita.
                “Maksud kamu?” gantian Akbar yang bingung.
                “Ya kamu beruntung masih bisa ditunjukin jalan yang bener sebelum terlambat,” jelasnya. “Coba kalo kamu keburu, tarolah meninggal gitu, sebelum kamu sempat bertobat.” Tambahnya. “Gimana coba?”
Akbar mulai mengerti. Zahra melanjutkan, “Jadi untuk apa kamu malu? Ini awal dari perubahan. Jarang ada kesempatan kedua lho, Bar.” Dia bingung kenapa Akbar segini gampangnya menceritakan semuanya kepada dirinya. Padahalkan mereka belum kenal. Dan keheranan itu terwujud dalam tanya.
                “Kamu kok segini gampangnya cerita semuanya ke aku?”
“Karena aku percaya kamu,” jawab Akbar menanggapi keheranan Zahra.
                Acara buka bersama itu berlangsung meriah. Apalagi di antara orang-orang yang berbahagia itu ada orang yang baru saja menemukan jalan terangnya serta perantara penunjuk jalan itu.
*
Zahra dan Ainy melihat seseorang yang mereka kenal baru-baru ini di dekat halte depan Masjid itu. Akbar tidak sendirian, ada seseorang cewek, cantik di dekatnya. Tapi cewek yang pakaiannya terlihat kontras dengan akbar yang berbaju koko dan peci itu, tampaknya sedang bertengkar. Bahkan saat hendak turun dari bis, mereka sempat melihat cewek itu menampar wajah Akbar lalu kemudian pergi meninggalkan Akbar yang hanya diam saja.
                Karena jam pengajian sudah hampir mulai, tidak ada waktu lagi untuk Zahra ataupun Ainy bertanya. Mereka langsung bergegas menuju Masjid setelah menyapa sekadarnya pada Akbar yang sedang menegakkan kembali motornya yang direbah paksa oleh cewek tadi sebelum dia pergi.
*
“Tadi pagi aku udah nyoba ngajakin Ayah sahur bareng. Meskipun awalnya aku nggak berani tetep aku lakuin juga,” ujar Akbar. Mereka sedang duduk di taman Masjid menunggu waktu berbuka puasa. Ada hal lain yang bisa Zahra rasakan, suatu ketenangan dari Akbar.
                “Lalu?”
                “Untungnya dia mau.” Ayahnya memang sempat terkejut dan tidak mengira Akbar akan mengajakngya untuk sahur bareng. Karena selama tujuh belas tahun hidup anaknya itu hanya dihabiskan dengan huru-hara, membuat keonaran dan segala perbuatan buruk lainnya. Laki-laki tua itupun sudah kehabisan akal untuk menasihati anaknya yang bengal. Ada sebentuk senyum dan atmosfer kelegaan di suara itu. “Ternyata puasa itu susah ya, Zah.” Desisnya lalu tertawa kecil. Zahra ikut tertawa pelan, tawa khawatir.
                “Aku juga udah mutusin, Vita. Aku rasa dia bukan yang terbaik untuk aku. Dan aku tidak yakin bisa membuat dia berubah. Aku mau berubah. Nggak seperti dulu lagi.” Akbar merasa sudah memenemukan jalan terangnya berkat seseorang yang baru dikenalnya dua hari yang lalu. oleh karena itu dia mau meninggalkan kebiasaan hidupnya terdahulu yang melenceng jauh dari syariat islam. Dan perubahan itu harus dilakukan secepat mungkin sebelum telambat.
                “Vita?” tanya Zahra. “Oh, I see. Yang di halte tadi? Akbar mengangguk. “Kenapa? Dia cantik lho.”
                “Memang. Seksi lagi,” tambahnya lalu tertawa mendesis. “Tapi yang aku butuh bukan cuma cantik di wajah doang. Hatinya juga harus cantik.” Zahra mengkerutkan kening tidak mengerti dengan “hati cantik” yang dimaksud Akbar.
                “Aku butuh cewek yang bisa merubah aku, Zah. Dan aku sudah temukan dia.” Ujarnya bersemangat.
                “Oh ya? Bagus deh. Dia pasti cantik.” Kata Zahra polos.
                “Iya. Dan yang terpenting hatinya juga cantik dan dia juga menjaga nilainya. Tapi aku nggak tau, dia suka juga sama aku atau enggak,” terdengar lesu di kalimat terakhir itu.
                “Kenapa? Kamu itu kan cakep, pasti dia suka.” Zahra memberikan dukungan.
Akbar tersenyum tipis, “Aku nggak yakin. Aku bukan cowok baik-baik. Keluargaku berantakan. Dan kami baru kenal. Baru juga dua hari yang lalu.” ujarnya pesimis. “Mau tau nggak di mana?”
                “Dimana?”
                “Di halte. Waktu itu kami hampir tabrakan di pintu bis.” Zahra membelak. Dua hari yang lalu? Di halte? Tabrakan? Itukan…
                “Aku suka wajah cantiknya yang terlindung kain cokelat itu. Senyum manisnya dengan one dimple at her left cheek. Aku suka dia yang relijius tapi tetep asyik buat ngobrol.” Tambahnya. “Kamu kenal kan, Zah, orangnya?”
Zahra tetap terdiam. “Karena gadis itu lho, Zah, aku berani dateng ke Masjid, pake baju koko begini, terus puasa. Padahal dulu mah boro-boro.” Akbar berceloteh serius seolah gadis yang dimaksudnya bukanlah Zahra dan tidak sedang ada di sini.
                Akbar menatap lembut gadis yang membelalak di sampingnya ini sampai suara adzan magrib menyadarkan keduanya. Ainy datang menghampiri keduanya lalu menyodorkan dua kotak makanan beserta tajil lalu pergi lagi.
                “Aku baru tau pacaran itu nggak boleh dalam islam. Makanya aku nggak akan maksa kamu buat mau jadi cewekku. Kamu tau bagaimana perasaanku, itu saja udah cukup.” Katanya kembali.
                Zahra tersenyum mendengar kalimat itu. Kalau boleh jujur, dia juga suka Akbar yang jujur, apa adanya, dan asyik dia ajak ngobrol. Beda dengan Kang Abi yang dewasa itu. Ada hal lain pada diri Akbar yang tidak bisa untuk dijelaskannya sejak pertemuan pertama mereka di halte dua hari yang lalu. Tapi dia harus pegang teguh keyakinannya ini. Dia harus menjadi muslimah seutuhnya. Dan ini adalah tantangan yang harus dia taklukkan untuk tujuan tersebut.
                “Aku akan berusaha menjaga perasaan ini, dan kalo udah saatnya nanti, aku harap semuanya dapat terwujud. Kamu mau kan, Zah?” tambahnya lalu menatap Zahra penuh arti. Zahra membuang pandangannya mengindari mata Akbar. Dalam keberpalinngannya itu dia mengangguk samar. Tapi Akbar bisa menangkap gerak pelan itu, dan itu menghangatkan dadanya juga menepis kabut kelam yang menyelimuti hatinya selama ini.
                “Syukron, Zah.” Ucapnya lembut.
____The End____

Selasa, 05 April 2011

Senjaku Di Langit ke Tujuh

“Nisa, tungguin donk!” Uni berteriak memanggilku dengan posisi ruku’. Napasnya tersengal-sengal mengikuti irama jantung yang semakin enerjik.
“Semangat donk Ni, masih banyak yang belum kita lakukan” aku kembali ke belakang menarik tangan Uni untuk melanjutkan perjalanan kami menyusuri bibir pantai.
          Uni adalah sahabat baruku. Nama aslinya Yuni Arsih Rahayu Pamungkas, keturunan Padang Pariaman. Uni itu adalah panggilan kesayanganku untuk dia, penghematan dari kata Yuni dan juga kebetulan dia lebih tua dari ku. Aku mengenal Uni saat kami sama-sama digencet senior sewaktu MOS masuk SMP sekitar enam bulan yang lalu.
          Disini sekarang aku tinggal. Di daerah rumah-rumah beratapkan seperti tanduk kerbau mendominasi setiap bangunan. Di Sumatra Barat, arah tenggara Ngarai Sianok, lembah yang indah itu tiga kilo meter dari rumahhku.
           Aku belum lama pindah kemari. Bukan karena ayahku dimutasi dari tempat kerjanya atau aku ingin digoyang gempa berskala-skala richter setiap harinya. Tapi semata karena kedua orang tuaku masih sangat sayang padaku. Alasan yang nanti akan engkau ketahui di akhir cerita, teman.
Sudah empat hari ini aku dan Uni bermain bersama. Melupakan pelajaran di sekolah saat kami keluar dari kelas dan membuang segala pikiran yang membebani. Hanya semata untuk bersenang-senang sampai kapan aku tidak tahu, dan aku yang memintanya.
      Hari ini kami mengunjungi pantai air manis. Tempat yang melegenda bersama legendanya Malin Kundang si anak durhaka. Dulu sewaktu SD, aku senang sekali mendengarkan cerita semacam itu sebagai pengantar tidur agar aku bisa terlelap di pangkuan ibu setiap malamnya. Aku tidak pernah bisa tidur dengan tenang, butuh waktu yang panjang agar aku bisa benar-benar terlelap. Cerita-cerita hero dan heroin, serta biografi Louis Brailer si tuna netra dan beragam cerita penggugah semangat lainnya rutin ibu bacakan setiap aku menjelang tidur. Aku paling benci cerita sad ending. Bagiku cerita yang begitu adalah orang yang tak mengerti arti perjuangan. Beliau tidak pernah lelah, tidak pernah mengeluh mengurusi anaknya ini. Karena sekali saja beliau lalai maka aku akan hilang.
        Tidak kusangka aku bisa melihat bukti sejarah cerita masa lalu yang menjadi bunga tidurku, hari ini dengan mata kepalaku sendiri. Berdiri dengan kakiku yang merapuh terbenam di pasir putih pantai yang terus didebur ombak samudera Hindia. Walaupun sudah enam bulan yang lalu aku berdomisili di kota rendang ini, baru kali ini aku bisa mengunjungi berbagai objek wisata di provinsi yang mempunyai big been versi Indonesia, jam gadang.
       Saat itu libur semester ganjil di tahun pertamaku menyandang putih biru. Seperti kataku tadi, aku dan Uni ingin bersenang-senang. Kami mengagendakan untuk berkeliling kota padang. Karena umurku baru menginjak sebelas tahun dan Uni dua belas tahun, maka kami ditemani oleh kakaknya Uni yang biasa kami panggil Uda Aang.
       Rute perjalanan kami dimulai dari kabupaten Agam, Bukit Tinggi, tempat kediaman kami. Lalu ke Padang Panjang dan dilanjutkan ke Pariaman, kampung halaman Uni. Pariaman berada di pesisir utara sumatera barat. Kami mampir sebentar ke rumahnya ama Uni, nenek dalam bahasa Indonesia. Disana aku benar-benar merasa berada di Padang. Kental sekali, etnosentrisme terasa hingga ke ujung kuku meskipun aku tidak didiskriminasi oleh sentiment primordial mereka.
        Aku yang tidak mengerti saat mereka bercakap hanya diam, anggap saja menonton film bisu tekadku dari awal. Aku tidak mau ambil pusing karena kau hanya ingin bersenang-senang selagi masih dalam perjalanan singkatku ini.
       Selesai dari Pariaman kami meluncur ke ibukota provinsi, Padang. Dan disini aku berada. Menakjubkan hamparan pasir putih kecolaktan menyambut kedatangan kami. Ombak laut pun ikut serta membelai lembut kaki yang menapaki setiap centimeter lengkung pantai air manis. Uni sedang mengatur napasnya ketika aku merentangkan tangan memasrahkan diriku pada terpaan angin laut yang membawa terbang sejenak segala hal yang aku rasakan selama ini. Ayah, ibu, aku baik disini, sangat baik bahkan.
       Pandanganku mengabur. Kubiarkan air mata itu mengalir di pipiku. Aku sadar betapa Tuhan sangat menyayangiku. Aku yang kecil begini bisa merasakan hampir seluruh tempat di Indonesia, bahkan ke Singapura pun aku nyaris sudah bosan. Mungkin kau tak percaya teman, tapi begitulah adanya.
*
Maghrib menjelang, mengikis indahnya sisik-sisik emas sayap sang mentari senja menghantarkannya ke peraduan saat kami memasuki sebuah mushola kecil di terminal kota Solok untuk sholat magrib. Dalam sujudku aku memohon kepada Allah agar perjalananku yang singkat ini dapat diperpanjang sedikit saja. Agak memaksa memang. Karena banyak hal yang ingin kulakukan.
Kami transit sebentar di objek wisata danau Singkarak. Letih perjalanan dari Pariaman ke Padang kota membuatku nyaris tak merasakan setiap denyut jatung yang memompa kehidupanku. Kami bermalam di sebuah penginapan keluarga tak jauh dari sana. Malam terasa begitu dingin mecengkram tubuh ringkihku dalam balutan gelap di puncaknya musim penghujan bulan desember.
Aku merasa sangat senang bisa berlibur bersama Uni dan uda Aang. Takkan kulupakan semuanya. Di tengah usaha kerasku untuk memejamkan mata, satu ide singgap di otakku yang sudah lambat fungsi kerjanya. Aku ingin perjalanan ini dibagi menjadi dua rute, aku melewati langsung Balimbing dan kembali ke Bukit Tinggi, sedangkan Uni harus mengambil rute memutar ke Sawah Luntoh lalu ke Batu Sangkar dan kembali ke Bukit Tinggi. Dengan begini kami bisa berbagi pengalaman, karena kalau tempat-tempat itu mau di kunjungi satu per satu akan membutuhkan waktu yang banyak, sedangkan liburan kami tak lebih dari satu minggu lagi.
Malam itu aku tak bisa tidur kembali. Malam itu juga aku berembuk dengan Uni dan uda. Awalnya mereka menolak, tapi dengan alasan logisku akhirnya mereka menerima. Tak menunggu waktu lama, aku mengirimkan sms kepada ayah untuk menjemputku esok hari. Malam semakin dingin. Angin dari danau berhembus kencang menerobos masuk melalui celah-celah kecil ventilasi. Sesak. Aku butuh ibu.
*
Danau Singkarak selamat tinggal. Selamat tinggal juga Uni dan uda Aang. Semoga perjalanan kalian meyenangkan. Terima kasih atas kesediaannya menuruti keinginan bocah layu ini.
Pagi-pagi buta ayah datang bersama ibu menjemputku. Aku tidak tahu berapa kecepatan yang ayah gunakan sehingga bisa datang secepat itu. Sekarang pun mobil melaju cepat. Aku terkulai lemas terbaring di atas pangkuan ibu. Teman, mungkin engkau akan berpikir aku ini manja. Tapi beginilah aku, aku tak berdaya.
*
Dua hari sudah aku berpisah dengan Uni. Namun, kami tetap berhubungan melalui telepon, mengabarkan tempat apa saja yang kami kunjungi. Aku tak bisa banyak bercerita karena rute yang aku pilih memang hanya lurus saja. Biarpun begitu Uni tetap saja memberiku berita kemana-mana saja dia hari itu.
Aku berinisiatif untuk mengadakan taruhan. Siapa yang paling kuat untuk tidak bercerita tentang perjalanan masing-masing sampai masa liburan habis dia adalah orang terkuat dan hebat. Dan lagi-lagi Uni setuju. Dan jika sudah sampai di Bukit Tinggi, aku mengajak Uni pergi ke Ngarai Sianok. Dan dia harus datang padaku dengan membawa tawa bahagia bukan tangis kesedihan karena berpisah denganku. Itulah oleh-oleh terakhir yang aku inginkan dari sahabatku itu.
*
Aku telah lama menunggu Uni di Ngarai ini, berhari-hari, sendirian, tapi Uni belum juga datang. Lupakah dia padaku? Atau aku saja yang terlalu cepat datang sebelum waktunya. Aku tidak tahu. Semuanya begitu cepat. Tubuhku mendingin bersama sejuknya udara lembah.
Hari yang kutunggupun tiba. Seorang gadis kecil berambut panjang berlari ke arahku. Tapi dia tidak menepati janjinya untuk membawakan ku tawa bahagia. Dia datang dengan berderai air mata. Kenapa engkau masih menangis teman? Bukankah engkau sudah berjanji padaku? Bukankah kita telah lewati waktu-waktu terbaik dalam hidupku.
Dia datang menghambur padaku memeluk diriku yang keras dan dingin. Diguncang-guncangnya walaupun aku tetap bergeming. Aku tak bisa merasakan apa-apa saat dia meraung-raung di atas tanah merah yang menutupi diriku. Memeluk pusaraku yang masih hangat karena baru dua hari yang lalu ayah menyuruh orang menggalinya untukku. Tangisnya menjadi saat dia membaca sebuah catatan yang aku tulis sewaktu kami berbisah.
Teruntuk, sahabatku Uni, Yuni Arsih R.P
Hug and kiss
Jangan menangis teman,ini hanyalah permainan dunia. Kita semua pasti akan mengalaminya. Hanya saja aku lebih beruntung dari pada kamu. Aku lebih dulu dipanggil Allah untuk mencicipi indahnya surga. Aku menunggumu disini. Tapi kau jangan cepat datang, bersabarlah.
Aku tau kau pasti marah kenapa aku tidak menceritakan hal ini kepadamu. Tapi aku tak mau orang-orang yang mengenalku menjadi orang yang sedih dan prihatin semua. Aku tak mau kau seperti temanku yang di Ceribon, Malang, Tarakan, Singapura dan lain lagi.
Cukup mereka, aku tak mau kau bersedih juga atas keadaan bocah ini.
Kau pasti sudah mendengar yang sebenarnya dari orang tuaku.
Aku divonis kanker hati tiga tahun yang lalu.
Awalnya aku terserang Liver, penyakit mematikan turunan dari kakekku.
Penyakit itu sangat betah berdiam di dalam tubuh ringkih ini. Berbagai cara kami tempuh, tapi takdir berkata lain.
Aku harus mengaku kalah.
Enam bulan yang lalu, awal aku pindah ke Padang. Itu adalah inisiatif dokter yang menanganiku. Dia sudah lepas tangan. Dia menganjurkanku untuk berobat tradisional pada seorang tabib di Bukit Tinggi.
Dengan harapan yang tinggal secercah kami berangkat kesana. Sebenarnya aku sudah pesimis, apalagi diagnosis terakhir dokter, mengatakan bahwa umurku tak akan lebih dari setengah tahun. Aku tak percaya.
Tapi teman, instingku memang benar. Aku memang harus mengaku kalah.
Setibanya kami di Padang, yang kami dapati hanya pusara empunya sang tabib yang telah wafat seminggu yang lalu.
Aku lelah.
Aku meminta pada orang tuaku agar waktu yang tersisa dalam hidupku bisa aku gunakan untuk bersenang-senang. Mereka setuju. Jadi, liburanlah kita berdua.
Terima kasih sobat untuk waktu terbaik yang engkau berikan.
Kau bisa mengingatku kala senja datang. Karena saat itu Allah menghadirkanku kebumi ini dan memanggilku kembali.
Jangan bersedih, kau telah mampu melewati harimu tanpa aku. Kau memenangkan taruhan itu.
Aku akan berada bersamamu ketika senja menyapa, di tempat berbeda di langit ke tujuh.
Keep In Smile
Alifah Annisanur’aini






Jumat, 11 Maret 2011

Salah Kaprah!!

“Ya ampun Ci, cakep banget ya?” puji ku dengan tampang super terpesona
“Udah dari dulu kali Ta, kamu aja yang baru sadar” Uci tersipu malu mendengar pujianku.
“Kamu udah tau ya? Kok nggak bilang-bilang aku sih?? Proterku.
“Kamu ngomongi apa sih Ta?” Uci membuyarkan lamunanku.
“Itu loh cowok yang lagi nyender di tiang basket!” tunjukku ke a rah seorang cowok berkulit sawo matang yang sedang bersandar di tiang basket sembari memegang lembaran kertas yang aku tebak itu adalah kertas absensi siswa baru. Uci cemberut mendengar penjelasanku, karena yang aku maksud bukan dia, malah kak Evan, ketua osis yang lagi bersandar di tiang basket.
Ini adalah hari ketiga kami sebagai siswa baru SMA N 13 Yogyakarta mengikuti MOS. Yang berarti hari terakhir kami di siksa oleh para senior-senior yang ‘rajin’. Lusa senin kami sudah sah menjadi siswa SMA dan mengenakan seragam abu-abu serta legal meninggalkan si putih biru yang sudah pas-pasan ini.
Sedang asyik-asyiknya mengagumi ciptaan Tuhan yang aku temui sejak awal MOS, Uci menarik paksa tanganku dan mengajakku kekantin. Sudah sejak bel istirahat aku mendengar dia menciap-ciap kelaparan. Tak tanggung-tanggung, dia memesan seporsi mie bakso, 5 tahu isi dan segelas the. Aku menggeleng-geleng melihatnya. Sedangkan aku hanya memesan bakso biasa plus the panas, tenggorokanku lagi radang sehingga tidak memungkinkan untuk minum es.
Pikiranku sedang tak bersama jasadku. Ia melanglang buana entah kemana, dugaanku sih sedang bersama kak Evan tercinta. Hehehehe …
“Auh!! Ya ampun, punya mata nggak sih?”
Keningku berkerut, heran kenapa cewek berambut panjang tergerai di depanku yang menurutku lebih mirip kuntilanak ini mencak-cak padaku. Baru aku sadar kalau seragamnya penuh noda dan basah oleh kuah bakso, itu pun setelah Uci menyenggolku berkali-kali. Ku lihat mangkok baksoku tak lagi di nampan, tapi sudah tercerai berai di lantai yang tak kalah kototrnya dengan seragam tu cewek. Aku melirik pada Uci, tampangnya tak kalah cemasnya, malah lebih pucat menurutku. Ku kembalikan tatapanku ke Widia, aku tahu namanya dari badge ya ada di dada kanannya.
“Maaf kak” suaraku, serak nyaris tak terdengar.
“Enak aja! Maaf nggak akan bikin baju aku jadi bersih lagi tau nggak!!” bentaknya. Aku merasakan pusing disekujur kepalaku. Belum resmi menjadi siswa di sini aku sudah dapat musuh.
Gerombolan anak-anak yang penasaran mulai membentuk lingkaran, menganggap ini adegan yang patut di tonton. Mentalku pias, barisan penonton terdepan mayoritas di tempati oleh senior-senior panitia MOS. Aku merasakan ada percikan air di kakiku. Aku menoleh ke kanan, ku lihat Uci terhuyung, baksonya hampir saja tumpah kalau saja tidak diselamatkan oleh salah satu dari penonton dan hanya dalam hitungan detik, Uci pingsan! Bagus! Ya Allah Ci, aku di bentak kok kamu yang pingsan? Nyaliku tambah ciut, inilah awal dari nightmare yang harus aku jalani selama SMA.
“Ada apa nih?” Tanya seseorang yang menyeruak dari kerumunan penonton. Entah harus bersyukur atau malu tapi intinya ada atmosfer kelegaan di hatiku. Kak Evan datang melerai kami, kak Widia mulai melakukan pembelaan diri, Aku hanya bisa mengangguk atas argument yang benar dan menggeleng saat argument itu salah menurutku.
Kak Widia tambah berang saat kak Evan membelaku dengan dalih bahwa aku adalah siswa baru. Tapi dia juga menyuruhku meinta maaf. Ok, aku mau, toh aku juga yang salah jalan nggak liat-liat.
Masalah selesai, aku tak henti-hentinya mengucapkan terima kasih. Kak Evan pun selalu tersenyum setiap kali aku berterima kasih. Sengaja aku lakukan terus menerus agar bisa melihat senyum yang membuatku panas dingin itu.
Setelah itu, aku belari menuju UKS, tempat Uci berada. Ngapain sih pake acara pingsan segala? Coba tadi ada dia, kan bisa jadi saksi bertemunya dua sejoli gitu? Pikirku di sepanjang perjalanan menuju UKS.
Satu lagi nilai positif yang aku dapat dari kak Evan. Selain cakep, pintar, berwibawa, dia juga adil. Terbukti dari cara arbitrasinya memecahkan masalahku dengan kak Widia barusan.
###
Jam tujuh lewat tiga. Masih ada sekitar dua puluh menit sebelum bel berbunyi dan lima menit bisa aku pakai untuk berkaca. Tak henti aku memandangi pantulan diriku yang dibalut rajutan benang putih abu-abu. Ku pandangi dari atas ke bawah. Kemeja yang disetrika rapi, rambut sebahuku terikat rapi dengan pita berwarna coklat, plus jepit kecil dirambut kananku berwarna senada dengan kuncirnya. Aku menarik napas lega.
“Ta, anaknya om Adi juda sekolah di sekolah kamu loh” Aku mendengar perkataan Ayah di meja makan saat menghampiri mereka untuk pamitan. “Oh” balasku. Aku tak sempat lagi menanggapi pernyataan Ayah.
Selesai pamitan aku langsung pergi. Harus ke halte dulu buat nunggu bis kearah sekolahku. Ayah tidak bisa mengantarku karena kantornya dan sekolahku beda jurusan.
Jam coklat di pergelangan tangan kiriku menunjukkan pukul 7:15, untung saja tidak memerlukan waktu lama untuk menunggu sang bis.
Sesampainya di sekolah, senyumku terkembang. San pujaan hati baru saja datang dan tengah memarkir motornya. Ku perlambat langkahku biar bisa barengan.
“Pagi kak” sapaku. Dia tersenyum, subhanallah manisnya, ternyata dia punya one dimple at his left chick. Jarang-jarang kan cowok punya lesung pipi? Dan benar saja, dia membalas sapaanku, kami pun berjalan sejajar menuju kelas masing-masing.
Aku memerhatikan sekelilingku, tak ada lagiyang berseragam putih biru. Semuanya telah mengenakan putih abu-abu pertanda grade kami telah naik dari junior menjadi senior high school.
“Ta, Tita” kak Evan melambai-lambaikan tangannya di depan mukaku. Ups, aku ketahuan melamun, malu-maluin banget deh. Ternyata dia udah sampai di kelasnya, XII IPA 2 terpajang di ats pintu masuk. “Duluan ya” pamitnya. Aku mengangguk. Dari dalam aku lihat kak Widia datang menyambutnya dan tersenyum sinis padaku ku percepat langkahku menuju kelas X3 kelasku, bel sudah menjerit-jerit pertanda kami harus bersiap-siap untuk upacara.
###
Gila ma men, panas banget. Aku sudah menghabiskan setengah lusin helai tissu buat mengelap keringat yang mengucur. Sekarang hampir closing dari upacara, tapi harus ditunda dulu karena ada pengumuman pemenang olimpiade sains tingkat provinsi yang diikutu sekolah ini beberapa minggu lalu. Ternyata sekolahku termasuk jajaran sekolah berprestasi. Dari 6 cabang mata pelajaran yang di perlombakan, sekolahku menyabet 3 diantaranya, kimia, fisika dan computer. Aku merasakan siku Uci yang berbaris disebelahku menyenggol-nyenggol nakal saat nama Evan Chandra Perdana di sebut sebagai juara II cabang kimia. Kimia? Aku paling bolot pelajaran itu sejak zaman SMP. Bertambah lagi satu alasan untuk menyukai kak Evan tercinta.
Sepanjang 2x45 pelajaran biologi sehabis upacara, tak lebih dari 30% materi yang disampaikan guru terserap oleh otakku. Aku terus memikirkan bagaimana cara agar bisa dekat sama kak Evan. Memanfaatkan kelemahanku di bidang kimia dan kejeniusan kak Evan di bidang itu membuatku tersenyum lebar. Aku akan menjadikan dia sebagai guru private. Sambil menyelam menangkap ikan gitu.
###
Hampir satu bulan aku menjadi siswa SMA. Upaya yang aku lakukan di hari pertama masuk SMA pun mulai menunjukkan titik terang. Sehabis pulang sekolah kalau tidak ada kegiatan, kak Evan selalu memberiku pelajaran tambahan, nggak Cuma kimia, tapi pelajran Eksa lainnya. Yang mengherankan, sikap kak Widia yang diawal-awal dulu menunjukkan permusuhan, sekarang tidak ada lagi, dia begitu ranah. Aku bersyukur dengan perubahan sikapnya itu. Dengan begitu aku mempunyai banyak teman yang kelas XII.
“Ta, kayaknya kak Evan juga suka kamu deh, dari tadi dia ngeliatin kamu terus” kata Uci disela-sela mengunyah siomaynya.
Aku tersipu malu, “Ah kamu Ci, bisa aja deh bikin aku GR” Aku sadar kok, sejak aku memasuk kantin hingga 15 menit berselang, kak Evan yang duduk arah horizontal dariku terus menatapku. Tapi aku tak mau berspekulasi seperti Uci.
“Perlu bantuan?” Tanya Uci mengagetkanku. Aku bengong seperti orang bego. Belum sempat aku mempertanyakan apa maksud perkataannya dia sudah berteriak dengan lantangnya, “Kak Evan kok ngeliatin Tita terus sih dari tadi?” Aku kaget, malu, kesal, marah, campur baur menjadi satu. Kamu temen apa bukan sih Ci? Batinku. Aku tak berani melihat kak Evan secara langsung, dari tatapan sekilasku, aku melihat dia hanya tersenyum menanggapi ulah konyol Uci. Untuk mencegah tingkah Uci agar tidak bertambah aneh, aku menggamit lengannya dan menariknya paksa meninggalkan kantin, kepergian kami diiringi puluhan pasang mata yang menatap heran dan geli.
Uci masih saja tertawa meskipun rona kesal di wajahku tak kunjung hilang. Untung saja di kelas saat istirahat selalu kosong jadi kami bisa leluasa membahasa masalah ini.
“Gimana dia bisa tau kalo kamu suka sama dia, Ta? Aku kan Cuma mau bantuin kamu” Tandas Uci beralibi membela diri.
“Tapi aku takut dia nggak suka, Ci!”
“Kata siapa? Buktinya dia itu selalu belain kamu, ingat nggak kita MOS? Dia mau jadi guru privat kamu meski nggak dibayar and dia itu ngeliatin kamu terus, Tita!” Jelas Uci panjang lebar.
###
Panas terik memanggang kota Yogyakarta. Begitu bel pulang berbunyi, keadaan sekolah yang tadinya tenang berubah menjadi super ramai. Selayaknya hewan ternak yang di lepas, para siswa menghambur memenuhi halaman, tersebar hingga ke jalan protocol.
“Tita!” Seseorang berteriak memanggilku. Rupanya kak Evan tengah berlari-lari kecil menghampiriku. Aku bingung mau bersikap bagaimana setelah insiden tadi di kantin.
“Ta, besok kakak nggak bisa ngajar, ada acara keluarga. Tapi kalo kamu mau datang aja ke rumah kakak”.
“Emang boleh?” Tanyaku heran. Inikan acara keluarga, kok pake ngajakin orang luar sih?
“Kenapa nggak? Jam 3 sore ya. Ntar alamatnya kakak sms-in. Bye Tita” Kak Evan pergi pulang, tapi tidak sendiri, dia membonceng kak Widia. Pengen deh dibonceng kak Evan, tapi nggak apa-apalah, toh aku udah di undang kerumah, berarti … pikiran nakalku mulai menjalari sel-sel di otakku. Biarin aja, biar kak Widia pedekate sama orangnya aja, tapi aku sama orangnya dan orang tuannya juga … hehehe
###
Kesal!!! Kenapa sih Ayah harus ada acara mendadak kayak gini? Mana aku harus ikut lagi. Padahal hari ini mau ke rumah kak Evan. Semuanya jadi batal gara-gara acara mendadak Ayah. Aku cemberut di sepanjang perjalanan, sementara Ayah terus berceloteh perihal acara ini. Kata Ayah kami mau ke rumah saudaranya yang lama nggak ketemu sejak kami pindah ke Surabaya dan pindah lagi ke Yogya. Aku pun sama sekali tak ingat saat Ayah bilang, dulu waktu kecil aku sering main ujan-ujanan sama anaknya om Adi. Ayah juga bilang, kalo anaknya om Adi nggak sabar ketemu Tita kecil yang sekarang udah ABG.
Aku sama sekali tak berminat mendengarkan penjelasan ayah, malah ayah asyik ngobrol berdua sama ibu. Pasti nanti di rumah saudaranya ayah, aku bakal jadi kambing congek. Anaknya juga pasti orang yang culun, berkacamata tebal dan kutu buku, karena kata ayah om Adi adalah dosen besar di Universitas Negeri terkemuka di Yogya, buahkan jatuh nggak jauh dari pohonnya. Membayangkannya saja aku sudah ogah-ogahan. Beda halnya dengan kak Evan yang T.O.P B.G.T!!!!! kedua orang tuaku masih sibuk ngobrol ria. Aku memutuskan untuk mengirim sms ke kak Evan.
‘kk, kyknya Tita g jd d k rmh kka, ad acra kel da2kn gt. Mv ea’ Send. SMS terkirim. Selang 5 menit datand balasan dari kak Evan.
‘kok gt? Pkknya kka tggu! SeXan kka lg bljr sm tmen, ad kmu biar tmbh rme. Dtggu ya!’
Aku hanya menghela napas. Nggak enak hati sama kak Evan yang lagi ada acara keluarga tapi bela-belain masih mau ngajarin aku. Ayah sih ngasih taunya mendadak bange, coba kalo dari jauh-jauh hari. Gagal deh camer.
Memasuki halaman sebuah rumah yang terbilang mewah. Setelah memarkirkan mobil kami pun turun dan memasuki rumah tersebut. Sambutan hangat kami dapat dari om Adi sekeluarga. Benarkan tebakanku, om Adi itu botak, istrinya masih terlihat cantik dan satu lagi anak laki-laki yang usianya masih siswa SMP, dia berkacamata! Aku tak melihat anak om Adi yang di maksud ayah.
Aku tak ambil pusing. Otakku terus berpikir bagaimana caranya izin pulang duluan dan cabut ke rumah kak Evan. Ternyata om Adi adalah saudara sesusu ayah.
“Nah Tita, ini anak om yang tertua, sekolahnya sama dengan kamu. Mas Riki ini calon menantu kamI” Om Adi memperkenalkan anaknya.
Astaghfirullah. Aku terperanjat bukan main, shock, bener-bener di luar dugaan. Ternyata anak om Adi yang aku kira tak jauh beda dengan dirinya itu ternyata bertolak belakang, dia cakep banget dan lebih parahnya lagi dia itu adalah kak Evan!! Aku yakin tidak salah orang, dan aku benar-benar bersyukur tidak sampai pingsan, karena yang di maksud Om Adi calon menantu adalah kak Widia!! Oh No!! Aku salah kaprah selama ini!!
“Yuk Ta, kita belajar” Ajak kaka Evan. Aku speechless.

_^The End^_

Jumat, 04 Maret 2011

Facebook! Comblangin Gue Donk!!!

        Arin menatap kesal kelayar laptopnya. Meraup segenggam choco chips dalam toples disebelahnya lalu menelannya dengan dua kali kunyah sebagai pelampiasan. Bukan lega, dia malah megap-megap kayak ikan koi. Choco chips yang ditelannya tadi menuntut keluar lagi. Dengan sekali teguk, ia melibas habis segelas jus mangga yang bersandingan dengan toples choco chips. Untung gue nggak mati desahnya lega.
“Masih aja lo ngurusin hal gituan? Elo aja nggak punya pacar” celetuk Arga, kakaknya yang super bawel dari belakang.
Sontak gadis itu terlonjak, “Apa sih? Sirik aja” Arin membalas tanpa melihat kakaknya itu.
        Hampir dua tahun ini Arin berprofesi sebagai mak comblang disekolahnya. Berhubung zaman udah modern, Arin menawarkan jasanya lewat via online, facebook! Entah bego atau apa, kok teman-temannya mau minta tolong sama Arin yang notabenenya dia sendiri tidak punya pacar!
Tapi Arin si mak comblang tak perlu diragukan lagi. Sudah banyak bukti konkret, contohnya Aldo kelas XIE sama Keke XIA, Kak Wisnu XIIC sama Citra XC, Okta XIB sama Irfan anak SMA lain and other more. Dan seperti kata pepatah, tak ada gading yang tak retak. Arin juga pernah gagal. Seperti Ria sama tukang ojek yang sering mangkal di depan sekolah mereka dan Edo sama bibi penjual sayur keliling. Huahaha … koneksi dunia maya Arin emang luas, mencapai seluruh lapisan masyarakat.
Di sekolahnya Arin dikenal luas. Tidak hanya anak kelas XI tapi seluruh angkatan menggunakan jasanya. Arga yang satu sekolah tapi kakak kelas juga kena getahnya. Kayak ada yang nitip pesan buat Arin, nitip coklat ataupun benda lainnya. Arga yang risih sudah berulang kali melayangkan protes pada Arin, tapi itu cewek cuek bebek aja. Well, Arga hanya bisa pasrah. Malu iya bangga juga iya.
Sembari bertopang dagu Arin kembali menatap layar didepannya. Untuk kesekian kali dibacanya beberapa potong kalimat Jennie di wall profil facebooknya, ’Rin, gue nggak mau cowok yang kemarin. Genit banget. Yang lain duonk.’ “Duh Jen mau lo apa sih? Apa-apa nggak mau. Genitlah, udiklah, matrelah.” Gerundel Arin.
       Sebenarnya Arin tidak meminta apa-apa dari orang yang menggunakan jasanya. Cuma bagi yang tahu diri pasti ngasih sesuatu, minimal coklat. Ini semua dilakukannya murni karena untuk kesenangan. Arin merasa senang aja melihat orang lain puas atas kerjanya.
Banyak juga loh orang yang bertanya kenapa Arin nggak punya pacar? Padahal dia jago tuh nyariin pasangan untuk orang lain, kok untuk diri sendiri nggak bisa! ‘Gue belum minat pacaran’ itulah jawaban Arin tiap kali ada orang bertanya perihal itu.
                                                                              # # #
“Rin, Thanks ya. Gue uda jadian sama Deby“ Sapa Rudi sesaat Arin mendaratkan bokongnya di kursi. Arin cuma tersenyum sumir sembari mengangguk pelan.
“Ni buat lo.” Rudi meletakkan sebatang coklat cadburry di atas meja Arin lalu pergi sambil bersiul riang. “Lama-lama gue ni yang jadi coklat” gumam Arin.
                                                                             # # #
“Masih lama nggak?” teriak Arga dari atas motor. Arin Cuma melambaikan tangan menandakan urusannya dengan Jennie belum selesai. Karena kepanasan Arga ngomel-ngomel nggak jelas. Setelah menuntaskan urusannya dengan Jennie, Arin menghampiri Arga, “Yuk pulang.” Tanpa banyak bicara Arga segera menstarter motornya.
        Sesampainya dirumah, Arin langsung ngeloyor masuk. “Eh,tunggu” tahan Arga. Arin tetap berjalan karena Arga telah mensejajari posisinya lalu menoleh sekilas. Tatapan bermakna – Ada–apa-sih? Dan segera terjawab, “Tadi waktu gue nungguin lo ada cowok. Kayaknya anak kelas XI deh, tapi gue nggak tau siapa, nyamperin gue.” Arga diam menunggu reaksi Arin, tapi yang diajak ngomong diam aja. “Katanya, Kak nitip salam ya buat Arin” lanjut Arga. “Alhamdulillah. Akhirnya adek gue laku juga” Arga sengaja mengejek Arin yang cuma diam tanpa kata. Bukannya marah karena diejek, Arin malah nyengir kayak orang bego dan melanjutkan jalannya. Arga bengong, menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Sepulang sekolah, setelah sholat Dzuhur dan makan siang, Arin bergegas ke kamarnya. Melakukan tugas harian sebagai mak comblang online. Satu setengah jam sudah Arin duduk bersama laptopnya. Rambut sebahu yang dikuncir kuda itu pun sudah tidak karuan. Menggerakkan mouse kesana-kemari, mencari para jomblowan di dunia maya untuk si Jennie. Hingga akhirnya dia menemukan sosok yang bisa dipastikan cocok dengan Jennie. Yogi Arman Sasongko, anak SMA 18 Bogor. Lengkung simetris pun tercetak di bibirnya. Segera saja dia mengirimkan data masing-masing ke Jennie dan Yogi.
Akhirnya setelah calon ke setengah lusin yang diajukan Arin, Jennie merasa klop dengan yang satu ini. Nafas lega pun berhembus mengiringi kesuksesannya, kalau gagal hancur sudah reputasinya sebagai mak comblang handal. Tanpa terasa Arin tertidur tergeletak di lantai kamarnya dengan posisi facebook masih online.
“Arin! Bangun!”Arin mengerjap-ngerjapkan matanya setelah 5 kali panggilan yang sama terdengar. Kemudian melirik ke arah jam yang ada di pojok kanan bawah laptop.
“Waduh, udah jam setengah enam. Pantesan emak gue ngamuk” Arin berbicara sendiri. Sesaat akan mematikan laptopnya, Arin baru sadar kalau facebooknya masih online. Ada satu jendela chat terbuka tapi si pengirim pesan udah offline. ‘Hai, siapa disana?’ pesan itu dikirim oleh Ich Immer Worten Sie. Aduh, coba gue nggak ketiduran, pasti ni cowok bisa jadi stok buat new customer pikirnya. Dia pun hanya menggeleng-geleng menyesali kebodohannya.
Malam ini Arin kembali ke ritualnya, bedanya kalo malam dia membawa buku pelajaran ikut serta. Begitu online ada 4 notification, 2 nggak jelas, 1 dari orang menyukai statusnya dan 1 lagi dari Jennie. 15 menit online Jennie muncul di jendela chatnya. Padahal dia baru saja membaca buku akuntasi yang dibawanya.
Jennie si putrie-putrie :             Arinnnnnnnnnn . . .
                                                  Thx y bwt yg td:-)
                                                  Perfecto dah . . .
Arin Ituh Si Mag Comblang : sm2. i2 mah udh jd tgs w lg . .
Jennie si putrie-putrie :            Rin. W bngung deh.
Arin Ituh Si Mag Comblang   ??
Jennie si putrie-putrie :          lo i2kn mak comblang, tp kq g pny pcr c?
Arin Ituh Si Mag Comblang :  ^_+
                                             Emg hrus ea?
                                             W mls pcrn Jen!!
Jennie si putrie-putrie :            Ooo … Getho
                                              Y udh … w off dln y.
                                              Mo bljr .. dagh Arin:-D
Arin Ituh Si Mag Comblang :    yuxx mariii …
       Jennie offline. Tak berselang lama, jendela chat terbuka lagi.
Arga Poenya Icha Folepel :     Woi cumi!!
                                              Jd krjn lo ngedon di kmr ± cm OL doank??
                                              Bljr sono! W aduin papa loh!!
Arin Ituh Si Mag Comblang : eh Ryuk JELEK!!
                                             Sirik aja! G s7??
                                              Lo jg OL kn?!
      Rese banget sih ni orang rengut Arin. Dia segera menutup jendela obrolan itu lalu berhenti online setelah Arga menginterupsinya. Punya kakak mode Arga memang membuat Arin hipertensi.
# # #
       Arin melangkah riang menuju kelasnya yang berada di ujung koridor, XIE. Di perjalanan dia berpapasan dengan Alif, Alif Ramadhan Satyandi anak kelas XIB, teman seangkatannya. Walaupun begitu, seingat Arin mereka baru dua kali bertegur sapa, ya meskipun beda kelas tapikan mereka satu sekolah, udah 2 tahun man!
Arin merasa ngeri tiap kali melihat Alif. Matanya yang lumayan sipit itu selalu berpandangan tajam. Kalau dilihat sehari-harinya Alif bukanlah anak yang pendiam, tapiArin tak pernah melihat Alif berbicara apalagi tertawa di depannya. Dasar aneh batin Arin.
“Rin tungguin gue donk!!” seorang cewek memanggil Arin dari mulut koridor. Tanpa melihat pun Arin sudah tahu siapa pemilik suara itu. Ocha. Sahabat kentalnya sejak awal kelas sepuluh.
“Gue nggak budek kali, Cha” protes Arin saat Ocha merangkul pundaknya. Dari seluruh customernya, Ocha inilah yang pertamakali menggunakan jasa Arin. Hampir satu tahun sama Ridho anak XIB dan itu berkat Arin.
                                                                     # # #
       Sebelum bel istirahat berbunyi, Arin dan Ocha udah ngacir duluan kekantin berhubung Pak Im, guru Akuntasi mereka lagi diklat di Bandung jadi kelas mereka kosong! Mereka tidak hanya berdua, banyak anak-anak yang lain juga. Sembari makan, obrolan pun mengalir seru di selingi gelak tawa dan guyonan khas anak dua SMA. Hingga akhirnya . .
“Rin, kapan nih nyari buat sendiri?” celetuk Keke.
“Iya Rin, nggak pengen apa punya pacar gitu?” tambah Jennie. Tenggorokan Arin terasa tersekat.
“Gini deh Rin, kalo elo nggak mau serius, buat seru-seruan aja dulu” Ocha menengahi “Tujuannya biar orang-orang tu tambah yakin sama kemampuan lo dalam hal percomblangan. Gimana?” Ocha buru-buru menambahi sebelum Arin salah tanggap. Jennie, Keke, Ria dan Laras pun mengangguk setuju.
“Gimana biar lebih seru kita ngasih deadline. 2 minggu mulai hari ini. Setuju?” Laras menambahi.
“What?” mata Arin membola.
                                                            # # #
        Arin kelimpungan akibat ulahnya menerima tantangan Ocha cs. Bingung hebat melanda dirinya. Tapi pantang bagi Arin untuk mengaku kalah sebelum berperang. So, taruhan gila ini harus dia jalani.
“Gue kan mak comblang! Trus gue minta comblangi siapa donk? Hah payah!” Arin bebicara pada dirinya sendiri. Dia terus berpikir keras, berjalan mondar-mandir di depan jendela yang sengaja dibuka. Jam dinding dikamarnya sudah menunjukan pukul 22:00. Ini sudah hari ketujuh, berarti waktunya tinggal satu minggu lagi.
“Aha” Teriaknya senang. “Kan ada fecebook? Ok. Facebook lo bakalan jadi mak comblang buat gue” senyum senang merekah diwajahnya. Segera saja dia berlari ke meja tempat laptopnya bertahta. Setelah membooting dia langsung mengarahkan pointer mouse ke Mozila Firefox. Tak peduli masih ada atau tidak orang yang online jam segini.
Lima menit berlalu. Ada satu jendela chat terbuka.
Rendy Anugrah :                      Yuhuuu … spada
Arin Ituh Si Mag Comblang : Hai!
Rendy Anugrah :                      Hai nek …
                                                  ngetem d mn ne?
Kening Arin berkerut, ni banci sok kenal amat sih. Arin langsung bergidik dan menutup jendela obrolannya. Kali ini biar gue yang mulai tekad Arin.
Arin Ituh Si Mag Comblang : Malem …
Bobby Jackers Mania :          Mlm jg
Arin Ituh Si Mag Comblang : Lg sbuk?
Bobby Jackers Mania :          g kq … blab la bla
Obrolan mereka berlanjut. Arin nggak mau mengulur waktu lagi. Kebetulan besok hari minggu jadi dia langsung ngajak ketemuan.
        Kafe Luxian jam 3 sore meja nomor 3. Arin celingak-celinguk mencari cowok berkemeja abu-abu dan celana hitam. Betapa terkejutnya dia saat melihat seorang pria dengan kriteria yang dicari Arin duduk di meja nomor 3. jika ditafsir paling tidak pria itu berusia 45 tahun! Oh No! Gila! Muka keriput, rambut ubanan dan jadul abis.
“Sialan. Gue ditipu! Fotonya secakep Stefan William tapi aslinya, mending gue ama Tukul Arwana deh” maki Arin. Tanpa babibu lagi dia pergi dari tempat itu. KESALLLLLLLLLLLL!!
                                                                     # # #
        22 Desember 2010. Arin melirik kalender di meja belajarnya. Ini sudah hari ke 10 sejak taruhan itu ditetapkan. Dua hari setelah insiden gila di kafe minggu sore.
“Bego. Bego. Bego.” Arin mencaci dirinya, tidak habis pikir bagaimana dia bisa menerima tantangan ini. Biasanya kalau nyariin pasangan buat orang lain tu gampang tapi kalo buat diri sendiri susah amat ya? Dia terus menelusuri tiap-tiap jejak laki-laki jomblo yang sesuai kriterianya di faceboook. Sedang asyik-asyiknya melakukan penelusuran, ia dikejutkan oleh jendela chat yang terbuka.
Ich Immer Warten Sie :          Hai, siapa di sna?
Arin Ituh Si Mag Comblang : Hai , Arin in here?
                                                  u?
Ich Immer Warten Sie :          Call me Kira
                                                  skul y?
Arin Ituh Si Mag Comblang : Yupp …
                                                 u?
Ich Immer Warten Sie :         Me too ..
                                               'I will become the god of my own world'
                                                u know it?
Arin Ituh Si Mag Comblang : (Tersenyum senang karena menemukan orang yang hobinya sama. Death Note )
                                                yeah … I’m really know
                                                u like Death Note?
Ich Immer Warten Sie :        SANGAT !!!
                                                who’s u like?
Arin Ituh Si Mag Comblang : I’m very like “L”
                                                 he’s so cool !!
                                                 u?
“Arin! Kata papa tidur sana udah malem” teriak Arga dari ruang tv mengacaukan suasana hati Arin. Arin pun sudah bisa menebak, ini pasti gara-gara papanya lagi make internet dan Arin terdeteksi masih menggunakan internet juga. Ini nih susahnya kalau masang speedy yang terhubung semuanya. Di komputer induk bakalan terdeteksi komputer mana aja yang masih aktif. Mana balasan dari Kira nggak muncul-muncul. Akhirnya Arin memutuskan untuk tidur.
Tidur dalam keadaan bahagia karena sudah menemukan calon yang tepat. Walaupun tidak jelas, Arin merasa klop aja sama tu orang. Apalagi dia juga suka Death Note-komik favoritnya. Dari komik itulah dia memberikan nama untuk Arga. Ryuk Shinigami atau Dewa Kematian. Tampangnya jelek banget deh.
                                                                        # # #
       Gayung bersambut. Setelah chatting yang nyaris tengah malam itu Arin makin deket dengan orang yang bernama Kira tersebut. Mereka pun sudah bertukar nomor telepon. Suatu awal yang baik. Arin pun tetap enjoy biarpun tu cowok menolak permintaanya buat masang foto dan nama aslinya.
                                                                         # # #
      Sabtu, 25 Desember 2010, SMA 05 Bogor libur. Inilah klimaks dari perkenalan mereka selama ini. Kebetulan Arin dan si target tidak merayakan natal, jadi mereka berencana ketemuan hari ini. Seperti acara sebelumnya, Arin menentukan tempat dan pakaian apa yang akan digunakan. Dia sendiri memakai atasan coklat putih dan jeans abu-abu, sedangkan cowok itu memakai polo shirt hitam dan washes jeans biru. Untung aja Arin udah pengalaman dalam hal ini. Jangan sampai tertipu lagi. Hehehe
       Arin telat 10 menit dari waktu yang disepakati. Lagi-lagi Arga yang biang keroknya. Gara-gara kemaren dia lupa ngasih coklat dari orang nggak jelas –sama kayak waktu nitip salam– alhasil dia pun mencegat Arin yang sudah terburu-buru.
Arin memperlambat langkahnya saat memasuki gerai foodcourt tempat mereka janjian di Botanisquare. Mendongak keatas, The Confession nama gerai itu. Pikirannya bercabang kemana-mana sesuai nama gerai ini. Sepertinya dia harus mengakui sesuatu setelah pertemuan ini. Dia merasakan jantungnya hiperaktif, namun terus saja berjalan menuju meja nomor 13. Seseorang duduk di sana menghadap keluar jendela kaca membelakangi dirinya. Berhenti sejenak lalu menarik napas.
“Hei” sapanya. Yang disapa pun berdiri dari duduknya dan menghadap ke Arin sembari tersenyum. Manis sekali. Arin merasakan dunia berhenti berputar. Pandangan yang gelap.
“Loh?” dia pun tak sanggup berkata-kata. Diamatinya mahluk jangkung didepannya ini. Benar. Polo shirt hitam dan washes jeans biru. Karena merasa shock, dia pun terduduk lemas.
“Kenapa? Bingung ya?”
“Elo? lo si?”
“Iya. Gue Kira, Ich Immer Warten Sie, atau lo lebih kenal gue sebagai Alif Ramadhan Satyandi.”
Please seseorang tamper gue. Yakinkan kalo ini Cuma mimpi jerit Arin dalam hati.
Lama keduanya membisu dalam riuh pengunjung gerai foodcourt sore itu.
“Udah terima coklat dan salam dari kak Arga?” Alif membuka pembicaraan. Arin menyadari bahwa Alif punya lesung pipi di pipi kirinya dan mata Alif juga relatif sipit.
“Rin, elo pernah mikir nggak kenapa gue nggak pernah pacaran ataupun minta tolong lo buat nyariin gue pacar?” Alif kembali bertanya, namun dia tidak memberikan kesempatan Arin untuk menjawab.
“Gue takut Rin. Taku lo nggak mau bantuin gue. Karena gue suka sama mak comblangnya.” Kembali Arif mengeluarkan pernyataan yang seandainya Arin lemah jantung udah mati dari tadi.
“Hampir dua tahun gue nunggu elo Rin. Tapi emang gue pengecut, negur lo aja gue nggak berani” Arin menundukkan kepala menghindar tatapan Alif.
“There’s a change for me , Rin?”
Arin tercekat. Setelah sekian lama, dia bisa menormalkan fungsi lidahnya yang sedari tadi kelu.
“Lif. Sorry banget. Sebelum gue ngambil keputusan, ada sesuatu yang harus gue akuin sama lo” Arin menceritakan perihal taruhannya mengenai hal ini dengan Ocha Cs. Untuk beberapa saat Arin siap kalau harus ditinggal Alif sendirian karena dia sudah mempermainkan Alif.
Di luar dugaan, “Lo nggak mainin gue kok. Lo ngakuin semua itu sebelum lo ngambil keputusan. Well …” Belum sempat Alif menyelesaikan perkataannya sebuah suara cempreng mengagetkan mereka.
“Berani nolak dia awas lo, Rin”
Tampak Arga dan Icha berjalan mendekati mereka berdua. Ternyata Alif sudah membicarakan perihal pertemuaanya dengan Arin sama Arga. Arin merasa ditipu habis-habisan walaupun sebenarnya dia melakukan penipuan . setelah mendengarkan cerita Arga yang sama-sama satu klub taekwondo dengan Alif.
Setelah itu keduanya pun pamit. Males ngedate rame-rame apalagi sama anak kecil kayak Alif dan Arin katanya. Alif dan Arin pun kompak mendelik. Cieciecie …..
                                                                      # # #
‘Hai gals. Akhirnya keinginan kalian terkabul!! Gue udah punya pacar n ini serius. Gue sayang ALIF RAMADHAN SATYANDI!!!!!’
Arin mengirim pesan itu ke setiap teman-temannya yang ikut taruhan. Coment dari mereka pun datang beberapa saat kemudian dan ajaib! Isinya sama, ‘Wow! Good job! Congrats, Rin! Jangan lupa pajak jadian! Hehe’ Arin pun sampai terkekeh membaca balasan teman-temannya. Dan juga status facebook miliknya dan Alif sama, ‘Alif Ramadhan Satyandi sayang Ariningtyas Soeharmanto. 25 Desember 2010. A.R.S & A.S.
Alif hanya tersenyum melihat ulah pacarnya ini. Emang ratu online pikirnya. Tempat ngedate mereka pun pindah, dari mall move to WARNET!! Hahahaaha …. Lagu Sheila On 7 – Hariku Bersamanya mengalun, memenuhi setiap bilik-bilik di warnet itu. Seakan jadi backsound hari mereka berdua.s
^-The End -^