Sabtu, 04 Desember 2010

Apalah Tidak Pantas Aku Membencinya ?

“Akhirnya” Desah Denia lega sambil menatap segelas air mineral ditangannya yang diperoleh dengan usaha keras karena berdesakan dengan puluhan anak-anak yang dehidrasi akut akibat dijemur seharian. Belum lagi air itu mengguyur tenggorokannya yang kering kerontang, seseorang tanpa dosa menabraknya dan menjatuhkan air mineral tersebut. Usahanya untuk menyelamatkan air itu pun gagal karena ada orang lain yang menginjaknya. Alhasil air itu muncrat kemana-mana dan mengenai anak yang menjadi dalang dari segala peristiwa itu. “Hei basah tau!!” Bentaknya.
Denia terkejut, seharusnya dia yang marah ,tapi kenapa anak itu yang berang. Melihat ulah tu cowok Denia naik pitam, ”He! Kok elo sih yang marah? Seharusnya gue yang marah sama elo karena elo udah ngejatuhin minum gue! Padahal gue udah susah payah buat dapetinnya, tau!”
Anak itu tersenyum sinis,”Minum cuma gopek gitu aja diributin, tenang gue ganti! Mau berapa? “
“Ini bukan masalah duit tau! Lo ga usah sombong deh,mau lo punya duit segudang pun kalo elo mau beli disini enggak bakal ketemu karena tu minum tinggak satu-satunya!” Denia berteriak sejadi-jadinya. Dia tidak peduli menjadi tontonan orang lain di lapangan itu. Bagaimana tidak marah, habis dijemur seharian dibawah terik matahari yang bisa mengeringkan pakaian yang baru dicuci ditambah lagi dengan bentakan kakak kelas yang sok senior dan ketika saatnya untuk melepas dahaga tiba-tiba sesrorang tanpa dosa dan marah-marah pula membunuh harapannya menelan setetes air.
Pritt..pritt..prit.. terdengar bunyi peluit dari seorang kakak kelas tanda untuk kembali berkumpul karena istirahat sudah habis. Kerumunan penonton tadi pun menipis dan akhirnya hilang. “Uh..” Denia geram, dia berlari meninggalkan anak itu sambil mengepalkan tangan kearah anak laki-laki itu.
Yang namanya senior kalo udah ketemu junior pasti merasa paling hebat. Berada diatas awan gitu. Seakan siswa baru itu robot,mereka seenaknya menyuruh ini itu. Mulai dari rambut yang harus dikuncir sebanyak jumlah hari mos, make tompel, rok hula-hula,nama-nama binatang, empeng (emang bayi? Padahalkan udah SMA ) dan harus membawa makanan tradisional minimal 10 dari masing-masing provinsi di Indonesia! Gila ga tuh? Mau nyari dimana coba? Dan disiang bolong ini, mereka masih saja memerintah dengan gaya otoriternya, enggak tanggung-tanggung, mereka nyuruh para siswa baru itu untuk jalan kodok di lapangan basket dari ujung yang satu keujung yang lain 5 kali! Berbagai umpatan kekesalan pun keluar dari mulut para siswa baru, tidak terkecuali Denia, dia sudah hampir mati kehausan. Dia terus melirik jam tangannya, baru 15 menit lagi penderitaan ini berakhir.
Sudah sepuluh kali dia bolak balik di lobang berukuran 10 x 5 meter itu. Rasa panas yang sejak tadi menggerogoti tubuhnya lenyap sudah tapi rasa kesalnya pada anak yang tidak tahu diri itu belum saja hilang. Perlahan dilepaskannya satu-persatu segala pernak-pernik khas masa orientasi siswa dan diletakkannya diatas rerumputan hijau yang tumbuh subur disekitar kolam renang itu. Untung besok hari terakhiar mos yang artinya peralatan itu tidak digunakan lagi.
Besok akan diadakan pesta penutupan mos dan menyambut siswa baru. Tiba-tiba muka Denia lebih kecut dari lima menit yang lalu, ” Bakal sering ketemu si Cacing itu lagi “ Sesalnya. Dia tidak mengetahui nama nak itu, Denia memanggilnya cacing karena nama mosnya adalah ‘cacing’, cocok pikirnya. Cacing adalah binatang yang paling dibencinya dan anak itu adalah orang yang paling dibencinya saat ini.

# # #
Suasana aula SMA 38 Bandung saat itu tak ubahnya seperti pasar. Ruangan yang hampir seukuran 3 kali lapangan basket itu penuh. Musik-musik heavy metal terus menghentak dari atas panggung yang diputar oleh DJ lokal. Acara belum mulai saat Denia menapakkan kakinya di aula. Dia memilih duduk di kursi deretan tengah,duduk menyendiri di sana sambil memakai earphone dan membaca komik. Dia tidak peduli dengan lingkungannya. Sampai saat terakhir mos pun dia hanya sendirian, tidak ada teman SMP-nya masuk SMA 38 Bandung yang terhitung elite itu. Dengan teman barunya pun ia hanya sekedar ber-say hi saja.
Tiba-tiba Denia mengalihkan pandangannya dari komik. Ia menatap tajam tiga orang cowok yang baru saja menabrak kakinya tanpa, ”permisi donk” atau “numpang lewat donk” dan duduk di sampingnya. Dan kau tahu siapa dia? Salah satu dari mereka adalah anak yang tempo hari membuat emosi Denia mencapai ubun-ubun. “Apa liat-liat?” Bentaknya. Denia tak berniat meladeninya dan segera mencari tempat duduk lain.
Acara berlangsung seru. Lancar. Ada beberapa orang anak menampilkan atraksi, kesan selama mos, atau sekedar menyumbangkan sebuah lagu. Ketika MC memberikan kesempatan terakhir bagi para penonton untuk menyanyi, seorang cowok dengan gayanya yang super belagu dan merasa paling hebat yang membuat Denia ingin melemparnya dengan tomat busuk maju ke depan. “Cih, sok hebat” Ejeknya sambil berdiri.
“Nia, mau kemana?” Tanya Tiara, teman yang baru dikenalnya dua jam yang lalu.
“Toilet”.
Lama ia termenung di teras luar aula. Dia tidak mau masuk ke dalam. Takut muntah. Begitu mendengar riuh suara tepuk tangan yang menandakan penampilan Si Cacing itu selesai, barulah Denia beranjak masuk.
“Dari mana aja? Tadi tuh keren loh.” Seloroh Tiara. Denia tak bersemangat, “Masa sih?”Tiara hanya mengangguk, tidak bisa berkata-kata, masih terpesona dengan penampilan cowok itu barusan.
Disepanjang koridor menuju gerbang, Denia tak henti-hentinya mendengar nama Anjar disebut-sebut. Lama-lama dia gerah juga, “siapa sih yang mereka bicarain?” Tanyanya pada Tiara.
Mata Tiara membulat, “Masa sih lo nggak tau? Itu loh, Anjar Putra Adijaya, yang tadi tampil terakhir.”
“Man gue tahu, emang gue petugas sensus yang harus mensurvei orang atu-atu?! Lagian apa bagusnya sih dia?”
“Jangan salah man, dia itu keren, manis lagi.” Bela Tiara.”Waktu mos aja kak Veni yang kelas 12 B naksir dia, apalagi angkatan kita.”
Denia berhenti, ”Enggak semua. Kecuali gue!” Dia menujuk dirinya.
“Emang kenapa?”
“Males banget suka sama orang kayak dia, kenal aja ogah.”
Mereka pun berpisah di depan gerbang.”See you,samapi ketemu besok!”
“See you”
# # #
Denia tak hentinya menatap ribuan benang putih dan abu-abu yang telah terajut menjadi seragam SMA itu. Setelah badan rebah di ranjang dia pun masih menatapnya. “Nggak terasa ya, padahal kemarin gue masih make elo.” Dia beralih menatap seragam putih biru disebelah putih abu-abu. Lemarinya memang sengaja dibuka, agar setiap dia terjaga, dia ati menatapnya.
06.30 mobil papanya berhenti tepat di depan gerbang sekolah. Setelah berpamitan ia pun langsung mencari dimana kelasnya. Depan-depan kelas yang sudah ditempel daftar nama dikerunumi oleh anak-anak yang sama seperti dirinya. Mereka juga bersemangat. Setelah kerumunan itu sepi, barulah Denia mendekat. Dia melihat daftar nama kelas X.a, tertera nama Denia Putri Prastiwi dan ada juga nama Tiara Meylani. Seulas senyum tipis terkembang di bibirnya. Baru selangkah ia meninggalkan daftar nama itu dia kembali lagi, ”Whats?!” Dia benar-benar terkejut. Wajah yang tadi cerah ceria berubah menjadi kecut saat dia membaca nama Anjar Putra Adijaya. “Bagus! Bakal pecah perang dunia ketiga nih.”
Saat memasuki kelas yang telah terisi separoh itu, Denia melemparkan senyumnya pada cewek yang duduk di bangku deretan nomor tiga dari depan dan segera duduk disebelahnya. Setelaah berbagi cerita ala cewek, tidak terasa bel pun berbunyi.
Sepatu keds yang dipakai Denia benar-benar akan melayang kalau guru tidak masuk berbarengan dengan tu cowok. Gayanya sok abis. Dengan rambut yang agak acak tapi rapi,gelang dan jam di tangan serta baju seragam dengan menutupi ikat pinggang –SMA Denia memang melegalkan siswanya untuk tidak memasukkan kemeja kedalam rok ataupun celana- sangat membuat Denia muak.
Hari pertama sekolah cukup menyenangkan sampai suatu ketika , ”He ! Lo punya flashdisk nggak pinjam donk?” Tanya seseorang dengan setengah membentak. ”Kalau pun ada gue nggak bakalan minjemin lo!” Denia balas membentak.
“Dasar pelit!” Maki Anjar .
“Biarin “
Entah apa saja,mau baik ataupun buruk hal yang dilakukan Anjar, Denia tidak suka. Anjar terus mencari gara-gara. Jika dia kesal dengan orang lain pastilah Denia yang menjadi tempat pelampiasannya. Dia selalu menginterupsi apa saja yang Denia ating . Teman-teman sekelas mereka pun mungkin sudah biasa dengan pertengkaran keduanya. Pagi-pagi mereka mendapat breakfast berupa saling sindiran,siang hari mendapat lunch berupa bentak-bentakan dan pulang sekolah mendapat desert plotot-plototan.
Tidak terasa sudah sebulan mereka menjadi anak SMA dan berada dalam satu wilayah yang sama dengan intensitas waktu yang tinggi. Dalam kurun waktu satu bulan itu, Anjar tidak menunjukkan itikad baik pada Denia. Begitu pula sebaliknya.
Mereka berdua tidak akrab,bagaimana mau akrab kalo kerjaannya bertengkar melulu. Denia benar-benar tidak membayangkan bahwa kejahilan Anjar akan melampaui batas. Sampai pada satu ketika hari Jum’at kelas mereka belajar olahraga,setelah pelajaran olahraga mereka belajar bahasa inggris yang punya kelas khusus. Jadi mereka harus moving kekelas tersebut dengan memboyong semua harta mereka. Denia tidak mau menjadi kura-kura ninja gara-gara tas yang terlalu menggembung. So dia memakai kantong ating untuk membawa baju olahraganya yang ia tenteng kemana-mana. Dia baru sadar kalau baju olahraganya hilang pada saat keesokan harinya. Sabtu memang jadwalnya SMA 38 memakai seragam olahraga. Dengan hanya memakai trening sekolah dan kaos yang berwarna senada –coklat- ia langsung pergi kesekolah pagi-pagi buta. Didatanginya ruang kelas x.a ,tapi NIHIL !! Benda yang dicari tidak ada. Terpikir olehnya ruang olahraga. Dia berlari-lari di sepanjang koridor yang berbentuk L itu. Begitu sampai umpatan kekesalan tak mampu terbendung lagi. Kelas itu terkunci. Tanpa pikir panjang lagi dia lari ke ruang TU yang berada diseberang ruang olahraga untuk meminta kunci. Ketika kelas itu dibuka ..Jeng..Jeng..Jeng.. bajunya tergeletak tak berdaya dilantai. Sumpah lecek.
Tiara terkejut melihat Denia sudah nangkring ditangga dekat lapangan basket. Selain heran kenapa Denia pagi,dia juga heran,baju sama muka Denia kok sama-sama lecek ya?
“Kenapa lo? Kusut amat?” Tanya Tiara namun hanya memdapat jawaban melalui tatapan mata yang menuntut.
Denia baru akan menjawab ketika Riri dan Tian . Mereka sekelas. Berondongan pertanyaan pun tak terelakan saat mereka melihat kondisi Denia. Denia tidak menjawab,dia malah balik bertanya dengan ketus, ”Siapa yang nyumputin seragam olahraga gue di kelas olahraga kemaren?” Tatapannya tajam,dingin dan tak bersahabat sehingga semua temannya terdiam. Mereka berpandang-pandangan, Anjar melintas di depan mereka lalu tersenyum sinis. “Dia?” Tunjuk Denia setelah Anjar menjauh.
“Nia sorry, gue nggak tahu kalo kemaren itu baju elo” Sesal Tian. “Udah ketebak” Gumamnya. Ketiha temannya tidak ada yang berani menanggapi ucapan Denia. Dia capek menghadapi keanehan anak itu, apa sih penyebab dia bersikap begitu ? Atau Denia punya salah yang tak termaafkan lagi ? Tapi apa ? Mereka baru kenal dan belum sempat banyak ngobrol!
# # #
“Arghhh! Kenapa harus ada matematika?” Gerutu Denia. Dia paling lemot dalam hal ini. Apalagi sekarang jam sudah menujukkan pukul 2 siang, otaknya seakan tidak bekerja. Matanya tidak bisa diajak kompromi, jangankan untuk memperhatikan penjelasan guru, untuk membuka mata saja dia sudah tidak sanggup. Dia menyerah, tidur adalah jalan satu-satunya.
Lima belas menit masih aman-aman saja, hingga sebuah kertas beradu dengan kepalanya. Sensornya bekerja mencari pelaku penimpukan itu. Betapa terperanjatnya dia saat mengetahui tersangkanya adlah Anjar. Denia membuka gumpalan kertas itu yang isinya membuat kantuknya lenyap seketika, “KEBO SI RATU TIDUR” plus dengan gambar dirinya lagi tidur. “Sialan lo!” Denia memaki Anjar melalui gerak bibir. Apa sih maunya anak ini?
Bukan hanya sekali Anjar melakukan hal itu. Dia sering mengganggu ritual tidur Denia dengan berbagai cara. Lempar kertas, penghapus, nyentil telinga bahkan nendang kursi.
# # #
Liburan semester telah habis. Saatnya masuk sekolah kembali. Kayak deja vu. Rasanya setahun yang lalu dia terkejut setengah mati saat menemui nama Anjar Putra Adijaya berada satu kolom dengan namanya. Dan lagi-lagi nama itu emnjadi mimpi buruk baginya, SMA 38 tidak melakukan rolling siswa saat mereka naik ke kelas dua belas, jadi anggota kelas sebelas tetap. Bagus nightmare di siang bolong for three years! Hebat ya? Dari sekian banyak anak kelas dua belas dia malah harus sekelas dengan Anjar blablabla itu! Untung saja dia masih stu kelas dengan Tiara. Thanks God.
Akhirnya kebencian Denia pada Anjar bertambah ketika Anjar melemparinya dengan cacing pada saat sekolah melakukan penghijauan. “Ya tuhan, dosa apa hamba-Mu ini kenal orang seperti itu?” Denia merutuki nasibnya.
# # #
Setahun kemudian..
Pagi yang sejuk seharusnya tenang. Tapi itu tidak berlaku di kelas 12 A. Perng mulut sudah lazim terjadi. “Eh elo liat buku coklat gue nggak?” Tanya Denia pada Tiara yang lagi asyik sama novel Harry Potter and The Deathly Hallows-nya. Tiara hanya menggeleng, dia benar-benar tidak tahu. Jangankan untuk meminjam, lihat pun tak boleh! Denia sangat menjaga ketat buku pribadinya itu. Dia menulis tentang, Raka, anak kelas 12 E, yang ia kagumi. Juga semua kebenciannya pada Anjar, takut juga kalau Anjar membacanya, nanti dia sakit hati giamana?. Walaupun benci setengah mati Denia tidak mau mencari musuh.
Sayup-sayup terdengar, “Matamu mampu berikanku ketenanga” Teriak seseorang dari luar. Itukan salah satu baris puisi yang ada di buku coklat itu! Sesampainya di luar kelas dugaannya terbukti. Anjar tertangkap basah lagi memegang bukunya. Langsung saja, “He! Gue masih bisa tolerir sifat lo yang aneh itu, karena gue tahu elo emang saraf, tapi ini udah melewati batas! Elo udah ganggu privasi gue!” Denia menekankan setiap kata-katanya dengan menunjuk-nunjuk dada Anjar. Seakan belum cukup, “Salah gue apa sih? Kalo nggak suka bilang dong! Capek gue elo giniin terus!”
Kebencian Denia sudah mencapai level tertinggi. Lahar emosi sudah menggelegak di ubun-ubunya. “Kenapa elo diem? Nggak punya alasan buat membela diri? Mulai hari ini gue nggak mau elo gangguin gue lagi. Cukup dua taun setengah elo bikin masa SMA gue jadi nightmare. Gue nggak mau elo mengacau kehidupan SMA gue yang tinggal setengah tahun ini! Ngerti?” Denia pergi puas setelah mengeluarkan semua unek-uneknya selama ini. Anjar tetap bungkam.
# # #
“Horeee!!” Teriakan itu membahana di seantero sekolah. Pilok menari-nari menandai suksesnya usaha yang dirintis tiga tahun yang lalu itu. Setelah ini merek harus berpisah karena mereka punya cita-cita sendiri.
Finally, Denia bisa meresakan jadi anak SMA normal setelah peristiwa 'ungkapan perasaanya' pada Anjar beberapa waktu yang lalu. “Kuliah diman?” Terdengar suara cempreng yang selalu menerornya dua setengah tahun yang lalu. Yang ditanya hanya diam. “Masih marah ya?” Denia tetap diam. “Gue tahu kok emang gue salah. Maaf ya buat dua setengah tahun lo yang buruk” Pinta Anjar tulus. Lagi dan lagi yang diajak bicara Cuma diam. “Nia, elo dengerkan gue ngomong apa?”
Karena tidak udah lulus dan tidak mau mencari musuh, Denia menerima permintaan maaf iu meskipun setengah hati. “Iya gue maafin”
“Thanks ya. Oh ya, terima kasi buat caci maki, amarah, umpatan, tawa dan juga pertemanan kita yang abstrak. Kenapa gue selalu gangguin elo selama ini nati elo akn tahu sendiri esok hari” Baru kali ini dia dan Anjar bicar baik-baik, tanpa plotot-plototan.
Seakan tahu apa yang dipikirkan Denia, “Gue tahu kok nggak gampang buat maafin orang yang kita benci,dimulut ia, tapi disini susah” Anjar menunjuk ke dadanya. Gila, ini Anjar Putra Adijaya kan? Anjar yang dul mati-matian dibencinya. Kok dewasa amat? Nggak kayak biasanya.
Dulu Denia bingung kenapa banyak cewek yang suka sama dia. Tampang sih oke, tapi sifatnya ituloh, nggak deh! “Nia, gue harap saat kita bertemu setelah perpisahan ini udah nggak ada kebencian di hati elo dan elo siap nerima gue menjadi apa dan siapapun” Denia tanpa sadar mengangguk. Tuhan apa tidak pantas aku membencinya? Batin Denia. Memaafkan itu susah tapi dia tulus banget.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar